Semarang (ANTARA News) - Kenaikan harga cabai yang sangat tinggi tidak hanya dikeluhkan konsumen, tetapi juga petani komoditas tersebut yang tersebar di sejumlah wilayah di eks Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah.

Bagi para penggila sambal dan makanan yang pedas, kenaikan harga cabai sangat mereka rasakan, karena sambal maupun makanan tersebut tidak lagi terasa pedas.

Seorang ibu rumah tangga di Perumahan Karangpucung Permai, Purwokerto, Dina (27) mengaku sangat doyan makan dengan sambal.

Akan tetapi semenjak harga cabai mengalami lonjakan sangat tinggi, dia mengurangi pembelian bahan baku sambal yang menjadi kesukaannya ini, sehingga sambalnya berasa tidak lagi pedas.

"Saya tetap makan dengan sambal meskipun tidak lagi terasa pedas karena cabainya dikurangi. Tetapi yang penting saya tetap bisa makan dengan sambal," katanya.

Ibu rumah tangga di Perumahan Teluk, Purwokerto, Wuryani (50) mengatakan, warung di sekitar rumahnya saat ini tidak lagi melayani pembelian cabai eceran seharga Rp1.000.

Menurut dia, warung hanya melayani pembelian cabai sebesar 0,5 ons, baik cabai rawit maupun campuran.

"Kemarin saya beli 0,5 ons cabai campuran dengan harga Rp5.000, sekarang sudah mencapai Rp7.000," katanya.

Sementara itu kalangan pedagang dan pemasok cabai di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Banyumas juga mengeluhkan tingginya harga cabai.

Bagi mereka, tingginya harga cabai justru merusak pendapatan karena keuntungan penjualan merosot tajam akibat menurunnya daya beli masyarakat.

"Kalau disuruh memilih, saya jelas pilih harga cabai normal, karena tingkat penjualannya banyak dan keuntungan cukup lumayan," kata Mijah (36), pemasok cabai di Pasar Wage Purwokerto.

Ia mengatakan, kenaikan harga cabai khususnya cabai rawit merah berakibat pada penurunan daya beli masyarakat.

Dalam kondisi normal atau di saat harganya masih Rp40 ribu per kilogram, dia mengaku bisa memasok cabai rawit merah hingga satu kwintal per hari. "Namun saat ini, saya mengurangi pasokan karena penyerapannya turun drastis, sekitar 60-70 persen," katanya.

Menurut dia, saat ini hanya mampu menjual cabai rawit merah sebesar 30-40 kg per hari karena harganya berkisar antara Rp95 ribu-Rp100 ribu/kg.

Dengan demikian, kata dia, keuntungan yang didapat hanya berkisar antara Rp60 ribu-Rp80 ribu/hari atau Rp2.000/kg cabai rawit yang dipasok sebanyak 30-40 kg/hari.

"Dulu sewaktu harganya masih Rp40 ribu/kg, keuntungan yang saya peroleh bisa mencapai Rp300 ribu/hari dari jumlah pasokan sebanyak satu kwintal. Waktu itu saya mengambil untung sebesar Rp3.000/kg," katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan harga cabai dapat segera kembali normal sehingga dapat memengaruhi jumlah penjualannya.

Demikian pula dengan pedagang cabai di Pasar Wage, Umiyati (56) yang mengaku mengurangi jumlah pasokan cabai yang akan dijualnya hingga 50 persen.

"Biasanya saya memasok sebesar 10 kg/hari, tetapi sekarang hanya 5 kg saja karena tak memiliki modal untuk memasok lebih banyak," katanya.

Selain itu, kata dia, konsumen juga belum tentu membeli seluruh cabai yang dijualnya sehingga dikhawatirkan akan membusuk.

Kenaikan harga cabai yang begitu tinggi, katanya, disebabkan minimnya pasokan dari petani akibat pengaruh cuaca yang tidak menentu.

"Tingginya curah hujan mengakibatkan banyaknya tanaman cabai yang rusak sehingga kualitas cabainya buruk. Akibatnya pasokan pun menjadi berkurang," katanya.

Hal ini dibenarkan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Banyumas Purwadi Santosa yang memastikan kenaikan harga cabai bukan karena ulah spekulan.

"Naiknya harga cabai disebabkan karena minimnya panen petani. Apalagi, kondisi cuaca yang tidak menentu seperti saat ini sangat berdampak pada produksi cabai dari para petani, jadi bukan karena adanya permainan spekulan," katanya.

Seorang petani cabai di Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang, Banyumas, Tarwin (38) mengatakan, saat ini banyak petani yang tidak bisa panen lantaran tanaman cabai mereka terserang hama "pathek" yang mengakibatkan batang tanaman dan buahnya mengering.

Kendati demikian, dia mengatakan, 3.000 tanaman cabai miliknya tidak terserang hama sehingga masih bisa dipanen.

"Setiap harinya, saya bisa memanen cabai merah keriting sebanyak 70 kg dengan harga di tingkat petani berkisar antara Rp40 ribu-Rp50 ribu/kg, sedangkan di pasaran sudah mencapai Rp60 ribu/kg," katanya.

Selain cabai merah keriting yang berkualitas bagus, dia juga bisa menjual cabai apkiran hingga sebanyak 10 kg dengan harga Rp10 ribu-Rp15 ribu/kg. "Dalam kondisi normal, harga cabai apkiran hanya Rp2.000/kg," katanya.

Sementara itu petani di Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Sikasno (50) mengatakan, sedikitnya lima hektare tanaman cabai merah keriting di wilayah ini mengalami gagal panen akibat serangan hama.

"Kalau masih bisa diselamatkan, kami bisa menjualnya dengan harga pasaran. Namun jika tidak bisa diselamatkan, terpaksa kami obral dengan harga maksimal sebesar Rp20 ribu/kg," katanya.

Lain halnya dengan petani cabai di Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Mereka masih bisa menikmati keuntungan di saat harga cabai melonjak tinggi.

Ketua Kelompok Hani Harapan Maju, Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, Sarno mengatakan, kenaikan harga cabai disebabkan terbatasnya suplai dari petani akibat seranga penyakit sehingga produktivitasnya menurun.

"Ada yang kena penyakit kuning, terutama di lahan-lahan yang terbuka. Serangga yang menularkan penyakit itu suka di dataran terbuka," katanya.

Sementara tanaman cabai pada lahan yang terlindung oleh pepohonan hutan, kata dia, relatif aman dari serangan penyakit tersebut.

"Kalau tidak diserang penyakit, produksinya bisa mencapai satu ton per hari. Tapi kalau terkena penyakit, hanya dua kuintal per hari," jelasnya.

Ia mengatakan, kenaikan harga cabai yang sangat tinggi masih memberikan keuntungan karena biaya produksi yang harus dikeluarkan hanya Rp4.000 per batang dan setiap tanaman mampu menghasilkan satu kilogram cabai.

Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Kecamatan Wanareja, Surur Hidayat mengatakan, petani cabai saat ini bisa meraup untung berlipat karena mereka mengalami impas (BEP) di saat harga komoditas ini mencapai Rp5.000/kg.

Kendati demikian, dia mengakui adanya serangan "pathek" atau layu pada tanaman cabai akibat curah hujan yang sangat tinggi sehingga produtivitas tanaman ini mengalami penurunan.

Menurut dia, penyakit layu ini menyerang sekitar 25 persen atau tujuh hektare lahan tanaman cabai di Kecamatan Wanareja.

Tingginya harga cabai di pasaran mengakibatkan petani di sentra tanaman sayur Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, meningkatkan penjagaan terhadap tanaman mereka.

"Petani yang masih berspekulasi menanam cabai selalu menjaga kebun mereka dengan ketat pada siang maupun malam hari sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya pencurian. Tahun lalu banyak pencuri yang berkeliaran mengambil cabai di saat petani panen," katanya.

Ia mengatakan, saat ini banyak petani di Desa Serang yang menunda menanam cabai kembali sembari menunggu kondisi cuaca membaik.

"Daripada merugi, petani menunda tanam cabai karena saat ini curah hujan masih tinggi," katanya.(*)

KR-SMT/T010

Oleh Sumarwoto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011