Yogyakarta (ANTARA News) - Objek wisata di lokasi bencana Gunung Merapi di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu ditata dan dikelola secara tepat, agar tidak menimbulkan permasalahan sosial.

"Banyak wisatawan mengunjungi lokasi bencana Merapi khususnya di wilayah Kecamatan Cangkringan, sehingga memberikan alternatif peluang usaha untuk membangkitkan perekonomian masyarakat setempat.

Namun, diperlukan kesiapan masyarakat dan aparat agar kunjungan wisatawan tidak menimbulkan permasalahan sosial," kata Bupati Sleman Sri Purnomo, Selasa.

Menurut dia, kesiapan tersebut diperlukan agar jangan sampai banyaknya kunjungan wisatawan itu hanya bersifat sementara. "Artinya, hanya berlangsung sesaat, setelah status aktivitas Gunung Merapi diturunkan karena dorongan keingintahuan saja," katanya.

Kunjungan wisatawan yang cukup padat di lokasi tersebut, harus dikelola agar para wisatawan mau berkunjung kembali, baik di lokasi wisata lava maupun objek wisata lainnya.

"Dengan kata lain, padatnya kunjungan wisata lava yang sudah berlangsung di wilayah Cangkringan ini harus dijadikan `entry point` agar para wisatawan dapat menyebarluaskan informasi tentang wisata lava pada masyarakat lain, dan juga mengenal potensi wisata yang lain di Kabupaten Sleman," katanya.

Ia mengatakan untuk menarik minat pengunjung, mau tidak mau pengelola wisata harus mampu memberikan kenyamanan, keamanan dan daya tarik yang mampu memberikan kepuasan dan bahkan kenangan para wisatawan.

Sri Purnomo mengatakan saat ini sudah banyak keluhan wisatawan dan bahkan juga muncul di berbagai media tentang ketidaknyamanan pengunjung ketika berwisata lava di kawasan kaki Merapi.

"Kami berharap kepada pengelola `volcano tour` untuk memperhatikan beberapa hal, seperti tidak melakukan pungutan maupun kotak permintaan sumbangan sukarela di sepanjang jalan, dan tidak melibatkan anak-anak dalam meminta sumbangan sukarela," katanya.

Ia mengatakan untuk menjaga kenyamanan arus lalu lintas harus diatur, sehingga tidak terjadi kemacetan di beberapa titik terutama pada hari-hari tertentu/hari libur.

"Beberapa permasalahan tersebut harus diselesaikan agar masyarakat tidak kapok untuk kembali berkunjung dan tidak menimbulkan kesan negatif tentang wisata lava dan masyarakat Cangkringan," katanya.

Bupati Sleman menyampaikan beberapa alternatif yang dapat dilakukan sekaligus juga untuk membuka lapangan kerja, antara lain pungutan uang sebaiknya di satu lokasi, yakni di pintu masuk, dan dilakukan secara resmi yaitu dengan menggunakan karcis.

"Demikian pula tarif parkir sebaiknya dilakukan sekali, dengan tarif yang wajar. Kotak-kotak sumbangan sukarela harus ditertibkan, sehingga jalan-jalan bersih dari permintaan sumbangan sukarela," katanya.



Peta rawan bencana

Bupati Sleman Sri Purnomo juga mengatakan penataan kawasan lereng dan kaki Gunung Merapi termasuk relokasi warga yang berada di radius rawan bencana, masih menunggu Peta Rawan Bencana yang akan diterbitkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.

"Sampai saat ini memang belum terpikirkan, namun memang harus ada penataan ulang kawasan lereng Merapi, sedangkan untuk rencana relokasi warga sampai sekarang belum ada rencana ke arah itu," katanya di Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Selasa.

Menurut dia, sampai saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) masih fokus untuk segera menyelesaikan pembangunan "shelter" (hunian sementara) agar para pengungsi tidak perlu lagi tinggal di barak pengungsian.

"Saat ini kami masih menunggu penjelasan langsung dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta terkait peta rawan bencana terbaru di kawasan lereng dan kaki Merapi," katanya.

Ia mengatakan setelah semuanya jelas, baru persoalan ini akan dipikirkan, dan apa pun nanti putusan BPPTK Yogyakarta, semuanya akan dibicarakan lebih dulu dengan warga.

"Bagaimana pun keputusannya nanti, kami tetap akan bicarakan masalah ini dengan warga, agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat," katanya.

Sri Purnomo mengatakan Pemkab Sleman tentunya akan memikirkan solusi yang bijaksana mengenai peta rawan bencana ini, terkait kemungkinan perlunya sejumlah lokasi di daerah rawan bencana Merapi dikosongkan dari permukiman.

"Kami tentunya akan menaati rekomendasi-rekomendasi yang diberikan instansi ahli terkait kawasan bencana, namun yang lebih penting lagi dipikirkankan adalah mencari solusi terbaik bagi warga yang sebelumnya bermukim di kawasan itu. Tentunya harus ada komunikasi dengan masyarakat gunamemdapat solusi terbaik," katanya.

Camat Cangkringan Samsul Bakri berharap persoalaan peta rawan bencana ini sebaiknya bisa dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat.

"Kalau bisa secepatnya, kami bersedia memfasilitasi pertemuan antara BPPTK dengan masyarakat korban Merapi, sehingga masyarakat bisa mendapatkan penjelasan dari sumbernya langsung," katanya.

Menurut dia, persoalan ini sebaiknya segera dikomunikasikan pada masyarakat karena saat ini sudah ada beberapa warga yang memutuskan untuk membangun rumahnya di lokasi rumah mereka yang hancur akibat erupsi Merapi.

"Sebagian warga di Dusun Srunen di Desa Glagaharjo, yang terkena lahar dingin sudah membangun rumahnya. Kalau wilayah ini nanti ternyata harus dikosongkan, maka akan rawan terjadi permasalahan dengan warga," katanya.

Sementara itu. Kepala Bagian Humas Setda Kabupaten Sleman Endah Sri Widiastuti mengatakan BPPTK akan mempresentasikan peta rawan bencana terbaru kepada Pemkab Sleman pada Rabu (19/1).



Terjauh 15 kilometer

BPPTK Yogyakarta telah menyusun peta kawasan rawan bencana Merapi dan jarak terjauh untuk kawasan yang masuk dalam daerah ancaman bahaya primer letusan gunung api tersebut adalah sejauh 15 kilometer.

"Jarak terjauh adalah di sisi selatan yaitu di Kali Gendol karena luncuran awan panas di sungai tersebut mencapai 15 kilometer (km)," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandrio, di Yogyakarta, Selasa.

Selain di Kali Gendol, jarak yang cukup jauh untuk kawasan rawan bencana (KRB) III tersebut adalah di Kali Putih yang berada di sisi barat yaitu sejauh 12 km, juga didasarkan pada jarak luncuran awan panas yang menjadi bahaya primer letusan Gunung Merapi.

Sedangkan di tempat lainnya, Subandrio mengatakan, bahwa jarak KRB III terbaru tersebut hampir sama dengan peta sebelumnya yaitu berjarak enam hingga tujuh kilometer.

Peta kawasan rawan bencana tersebut kemudian akan disosialisasikan kepada pemerintah daerah di empat kabupaten yaitu Sleman di Provinsi DIY dan di Klaten, Boyolali serta Magelang di Provinsi Jawa Tengah.

"Rabu (19/1) kami akan melakukan sosialisasi tentang kawasan rawan bencana Merapi di Kabupaten Sleman. Untuk kabupaten lainnya menyusul," katanya.

Sementara itu, KRB II adalah wilayah yang berada di perluasan sejauh dua hingga tiga kilometer dari batas KRB III.

Peta KRB Merapi itu dicetak oleh BPPTK Yogyakarta dengan skala 1:50.000, sehingga perlu dilengkapi dengan peta operasional lain dengan skala yang lebih besar agar bisa menampilkan detil yang lebih banyak.

BPPTK merekomendasikan wilayah-wilayah yang masuk dalam KRB III tersebut tidak dipergunakan untuk permukiman, namun masih dapat digunakan sebagai daerah budi daya seperti pertanian.

Di Kabupaten Sleman, wilayah yang masuk dalam KRB III di antaranya delapan dusun di Kecamatan Cangkringan dan Kecamatan Ngemplak.

"Kami hanya merekomendasikan, keputusan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah setempat," katanya.

Gunung Merapi saat ini status aktivitas vulkaniknya masih "waspada" atau level dua, karena masih terjadi aktivitas seismik seperti gempa vulkanik yang rata-rata terjadi kurang dari satu kali dalam sehari, dan gempa "multiphase" 30 kali dalam sehari.

"Status belum akan diturunkan menjadi aktif normal, karena masih ada bahaya sekunder, yaitu banjir lahar dingin. Jika diturunkan, nanti justru tidak terkendali. Status dipertahankan agar masyarakat tetap waspada," katanya.



Aset warga Merapi

Camat Cangkringan, Kabupaten Sleman, Samsul Bakri berpendapat sebaiknya pemerintah membeli aset milik warga kawasan Gunung Merapi yang masuk dalam peta rawan bencana untuk meminimalkan masalah jika mereka harus direlokasi.

"Secara pribadi kami setuju bila masyarakat tidak lagi tinggal di lokasi rawan bencana, sehingga mereka sebaiknya direlokasi. Namun persoalannya tidak semudah itu, karena tidak semua warga tersebut mempunyai aset lain, selain tanah mereka yang masuk dalam lokasi rawan bencana sehingga mungkin bisa dipikirkan, bagaimana kalau pemerintah membeli aset tersebut," katanya di Kinahrejo, Cangkringan, Selasa.

Menurut dia, jika aset warga di kawasan lereng tersebut dapat dibeli pemerintah, uangnya bisa dipakai warga untuk membeli tanah di lokasi aman, sedang tanah di lokasi rawan bencana tersebut bisa tetap dipakai warga itu dengan status tanah garapan.

"Nantinya mungkin tanah yang telah dibeli pemerintah itu bisa dijadikan hutan lindung, di mana sesuai dengan peraturan, tanah di hutan lindung masih bisa digarap kelompok masyarakat," katanya.

Ia mengatakan staf kecamatan akan segera mendata tanah-tanah warga bila memang usul ini bisa diterima.

"Intinya tidak mudah melakukan relokasi dan semuanya sebaiknya dikomunikasikan secara terbuka dengan masyarakat," katanya.

Sementara itu, Pemkab Sleman tidak dapat mengabulkan permintaan warga korban bencana erupsi Gunung Merapi yang menginginkan sapi mereka yang mati diganti dengan uang tunai.

"Kami tidak bisa memenuhi permintaan warga korban Merapi yang menginginkan agar penggantian sapi mati bisa diwujudkan uang, semuanya harus diganti dengan sapi hidup," kata Bupati Sleman Sri Purnomo, Selasa.

Menurut dia, Pemkab Sleman terikat aturan dari pemerintah pusat, dimana komitmen awalnya adalah sapi mati akan diganti sapi hidup, sehingga tidak semudah itu untuk menggantinya.

"Keinginan warga tersebut memang bisa dimengerti, tetapi sesuai dengan komitmen awal, penggantian sapi mati termasuk dalam program pemerintah untuk menghidupkan perekonomian warga," katanya.

Ia mengatakan pihaknya berprinsip bahwa setelah masuk ke "shelter" (hunian sementara), warga harus kembali ke mata pencaharian semula, atau usaha lainnya. "Mereka dulunya adalah peternak, dan kami berharap mereka dapat kembali berternak," ujarnya.

Sri Purnomo mengatakan pemberian uang pengganti sapi dalam bentuk dana tunai sangat berisiko, karena bisa saja nantinya malah digunakan oleh penerima untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif semata.

"Uang mudah habis, dan saat mereka membutuhkan uang untuk membeli sapi, uang tersebut sudah tidak ada. Jika itu yang terjadi, bisa menimbulkan masalah baru," katanya.

Menurut bupati Sleman, dengan penggantian sapi hidup, sekaligus nantinya bisa membangkitkan motivasi warga untuk berusaha kembali.

"Apabila korban Merapi punya sapi dua ekor, tentunya mereka berusaha untuk menjadikan sapi itu menjadi tiga, empat, atau lima ekor, begitu seterusnya. Kalau tidak punya sapi lagi, lalu bagaimana," katanya.

Ia mengatakan apabila alasan warga karena belum ada kandang, saat ini pemkab sudah menyusun rencana membangun kandang-kandang kelompok yang tempatnya diusahakan berdekatan dengan "shelter", termasuk masalah pakan, dimana warga mengeluhkan sulitnya mencari rumput, dan pemkab tidak akan tinggal diam.

"Pencairan uang pengganti sapi tersebut akan segera dilakukan begitu warga telah siap untuk memelihara sapi lagi. Prinsipnya tetap, sapi mati diganti dengan sapi, bukan uang," katanya.(V001*E013/M008/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011