Jakarta (ANTARA) - Rumah Negara merupakan aset berupa rumah yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Rumah Negara terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu Rumah Negara Golongan I (RNG I), Rumah Negara Golongan II (RNG II) dan Rumah Negara Golongan III (RNG III) dimana keseluruhan rumah tersebut mengalami banyak tantangan dalam pengelolaannya.

Permasalahan utama yaitu penghunian oleh yang tidak berhak, persengketaan, rumah tidak dihuni, dan permasalahan administrasi. Akibatnya, rumah negara cenderung tidak optimal dan underutilized sehingga berdampak pada membebankan APBN ketimbang berkontribusi pada penerimaan.

Keseluruhan permasalahan tersebut tercermin pada kuantitas rumah negara yang diterbitkan Surat Izin Penghunian (SIP). SIP merupakan dokumen legalitas yang dimiliki penghuni yang sesuai dengan ketentuan dimana penghuni tersebut berkewajiban membayar sewa rumah negara serta mengeluarkan biaya pemeliharaan.

Berdasarkan data per 2 Agustus 2021, komposisi rumah yang memiliki SIP hanya 5 persen dari total seluruh rumah negara golongan I dan II. Adapun Kementerian Keuangan selaku Pengguna memiliki 6.139 unit rumah sehingga menyumbang 73,8 persen dari total ber SIP.

Tidak adanya SIP dimaksud disebabkan banyak faktor sehingga perlu “ditolong” APBN sementara di saat yang sama, APBN dialokasikan dengan lebih memprioritaskan penanggulangan dampak COVID-19.

Imbas kebijakan tersebut yaitu moratorium belanja modal untuk pengadaan dan renovasi meskipun terdapat urgensi untuk perbaikan untuk rumah yang tidak berpenghuni tersebut.

Melalui artikel ini, diharapkan dapat memberi sumbang saran bagi pengelolaan rumah negara. Artikel ini menggunakan metode penyusunan melalui pendekatan studi literatur.

Faktor Penyebab

Dengan melakukan observasi wawancara dan FGD, faktor-faktor penyebab rumah negara tidak memiliki SIP yaitu:

Pertama, rusak berat dan terbengkalai. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.06/2016 Tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, dinyatakan BMN rusak berat merupakan BMN yang tidak dapat dihuni sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk mengembalikan ke kondisi baik. Berdasarkan peraturan yang ada, biaya renovasi tersebut direalisasi apabila tersedia Daftar isian pagu anggaran (DIPA) nya di APBN.

Kedua, dikuasai pihak yang tidak berhak. Dikuasai yang tidak berhak yaitu para penghuni rumah negara tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diuraikan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara. Permasalahan penegakan hukum atas penghuni tidak berhak ini cukup rumit dan sering berakhir di pengadilan (adhana, 2021).

Ketiga, proses birokrasi pengelolaan rumah negara. Peraturan pengelolaan rumah negara cukup komplek, saling terkait dan detail menyebabkan proses pengelolaan negara seperti penganggaran, pengadaan, penggunaan dan pemanfaatan dan penghapusan dilalui dengan cukup panjang. Oleh sebab itu, rumah negara seringkali tidak dihuni karena menunggu proses peraturan tersebut terpenuhi.

Keempat, kurangnya pengawasan dan pengendalian (wasdal). Sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.06/2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara sebagaimana diubah melalui 52/PMK.06/2016, Kementerian/Lembaga melakukan kegiatan pelaksanaan dan pelaporan wasdal secara berkala.

Namun seringkali pelaksanaan wasdal hanya bersifat administratif dengan tidak diikuti tindakan wasdal yang nyata dan efektif.

Kelima, faktor lokasi serta kualitas dan fasilitas rumah. Lokasi dan fasilitas menjadi penyebab mengapa rumah yang layak huni namun tidak diminati. Lokasi yang jauh dari kantor atau jauh dari fasilitas umum membuat pegawai enggan menempati rumah negara.

Sementara itu, terdapat pula faktor kesukaan/preferensi pegawai yang menginginkan fasilitas yang lengkap (fully furnished) dan berkualitas serta bahan bangunan yang terbaik dimana hal tersebut tidak disediakan pemerintah.

Keenam, faktor lainnya. Faktor lainnya yang berpengaruh yaitu faktor Amdal dan keamanan. Rumah yang berlokasi dekat tanah longsor, makam, dekat lokasi premanisme, rata-rata tidak diminati.

Baca juga: Anggota DPR: Banyak fasilitas negara bisa jadi RS Darurat COVID-19

Baca juga: Kemenkeu paparkan kementerian dan lembaga dengan BMN paling besar


COVID19 dan kebutuhan Rumah

COVID19 bermula dari binatang yang terinfeksi dan menyebar ke manusia berlokasi di Wuhan, China pada akhir tahun 2019 dan masuk ke Indonesia pada awal Maret 2021.

Sejak itu, upaya pencegahan dilakukan dengan 5 M yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan serta membatasi mobilitas.

Pemerintah juga menerapkan kebijakan berupa Work form home (WFH), Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan PPKM untuk mendorong pelaksanaan 5 M dimaksud.

Berbagai penelitian dan statistik menunjukkan dampak yang signifikan atas kebjakan tersebut terutama pada lesunya perekonomian, berkurangnya penerimaan negara dan bertambahnya beban APBN. Pemerintah menerapkan refocusing APBN dengan belanja modal termasuk kegiatan pembelian rumah negara dan renovasi di moratorium secara signifikan.

Isu tersebut di atas diikuti pula dengan tingginya kebutuhan rumah negara. Berdasarkan data Kemenpan per 2020, Jumlah seluruh ASN yaitu 4.168.118 orang dengan Jumlah PNS yang bekerja pada instansi pemerintah pusat sebanyak 958.919 (23,01persen) sedangkan PNS yang bekerja pada instansi pemerintah daerah berjumlah sekitar 3.209.199 (76,99 persen).

Kebutuhan tersebut semakin mencuat dengan berpindahnya aktivitas kantor ke rumah akibat pemberlakuan WFH. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sektor perumahan tidak terpengaruh dengan adanya pandemi COVID-19 dengan menunjukkan pertumbuhan per triwulan.

Baca juga: Kemenkeu: Aset negara masih aman dibandingkan kewajiban

Baca juga: Kemenkeu: Aset negara meningkat, capai Rp11.098,67 triliun pada 2020


Omnibus Pengelolaan Rumah Negara

Dalam penelitian Qadri tahun 2019 berjudul menakar model pembelian langsung rumah negara di Indonesia, menemukan bahwa permasalahan serupa dialami banyak negara termasuk negara maju di Eropa dan Amerika.

Perbedaannya yaitu negara tersebut telah memiliki solusi yang efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan kebutuhan rumah negara. Dengan memperhatikan fenomena dan studi literatur tersebut, diperlukan reformasi terkait pengelolaan rumah negara dengan mengedepankan omnibus pengelolaan rumah negara.

Ada 2 aspek omnibus pengelolaan yang dibutuhkan yaitu reformasi kebijakan dan digitalisasi pengelolaan rumah negara. Reformasi kebijakan yaitu berupa omnibus law atas pengelolaan rumah negara.

Kebijakan ini mereformasi seluruh siklus pengelolaan rumah negara untuk mewujudkan suatu omnibus pengelolaan. Bentuk pengelolaan tersebut yaitu:

Pertama, pembentukan unit/Lembaga yang menjalankan ketentuan omnibus law pengelolaan rumah negara yaitu dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU).

Hal ini sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.

Kedua, kewenangan yang luas dan menyeluruh untuk pengelolaan rumah negara mulai dari perencanaan sampai dengan penghapusan kepada BLU tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengikis ego sektoral Kementerian/Lembaga dan efisiensi proses bisnis.

Ketiga, alternatif pembiayaan untuk pengadaan dan renovasi melalui mekanisme non APBN seperti pinjaman, investasi masyarakat dalam bentuk penyerahan dana atau waralaba, penjualan asset, dan lain-lain.

Keempat, perluasan utilisasi dan optimalisasi rumah negara. Peraturan tersebut memberi perluasan penghuni yang sah rumah negara dengan menetapkan skala prioritas tersebut. Skala prioritas tersebut yaitu ASN pusat yang belum memilik rumah, ASN Pusat,ASN Daerah, pegawai non ASN yang bekerja pada K/L, pegawai swasta, dan masyarakat umum.

Kelima, terdapat kebijakan capital charge (cc). kebijakan cc yaitu memberi penalty kepada K/L yang tidak menyerahkan rumah negara yang tidak memiliki SIP kepada BLU dimaksud dengan besaran yang ditentukan oleh omnibus law.

Aspek kedua yaitu Digitalisasi pengelolaan rumah negara. Terdapat hubungan yang linear antara digitalisasi dan pandemi COVID19 yaitu Semakin lama dan banyaknya pegawai bekerja di rumah maka semakin tinggi implementasi penggunaan teknologi digitalisasi.

BLU dapat membangun aplikasi terdigital dimana proses penyelesaian pengadaan barang dan jasa, aktivitas lelang, pembayaran, dan pemasaran dilakukan secara digital termasuk pelaksanaan lelang dapat dilakukan secara virtual.

Oleh sebab itu, digitalisasi pengelolaan rumah negara untuk menghubungkan 3 (tiga) stakeholder utama yaitu:

Pertama penghuni dan calon Penghuni. Melalui proses digitalisasi tersebut para penghuni/calon penghuni dapat melihat spesifikasi rumah, membuat permohonan, melakukan pembayaran, membuat keluhan, dan lain-lain.

Kedua, pihak yang mendanai. Pihak yang mendanai yaitu kreditur dan investor. Diharapkan pengelolaan rumah negara dapat memberi kemudahan kepada pihak yang mendanai untuk mengakses proposal, pengajuan pendanaan, monitoring dan evaluasi berkala serta pelaporan keuangan/manajemen.

Ketiga, pengembang. Pengembang merupakan pihak yang memberikan jasa renovasi dan pemeliharaan rumah negara termasuk pula pengadaan baru atas rumah negara tersebut.

Para pengembang dapat secara online untuk melihat tender pekerjaan, jadwal pengadaan, pembuatan laporan pekerjaan, monitoring dan evaluasi, dan lainnya terkait kebutuhan pengembangan.

Dengan demikian, indikasi permasalahan rumah negara dihadapi oleh pemerintah yang terlihat dari jumlah dokumen Surat Izin Penghunian (SIP) yang diterbitkan.

SIP tidak dapat diterbitkan disebabkan karena rumah tersebut rusak berat, terbengkalai, kosong, dihuni oleh pihak yang tidak berhak dan belum dilakukan pemutakhiran data.

Porsi rumah ber SIP sangat kecil dari total keseluruhan rumah negara sedangkan keseluruhan rumah negara tidak sebanding dengan jumlah seluruh PNS.

Terdapat hal-hal yang menyebabkan sulitnya mengatasi permasalahan tersebut baik dari sisi keuangan maupun proses bisnis.

Penyelesaian permasalahan atas rumah negara tersebut diperberat dengan adanya COVID19 di mana terdapat pengalihan APBN dari belanja modal rumah negara ke belanja-belanja untuk penanganan COVID19.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan omnibus pengelolaan rumah negara. Omnibus pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh suatu BLU dengan tugas, fungsi dan wewenang yang luas. BLU tersebut dapat mengakses keuangan secara fleksibel dan prosedur administrasi yang efektif dan efisien.

Ominibus tersebut juga menerapkan capital charge untuk K/L yang tidak mengelola rumah negara dengan baik sehingga aset yang dikuasai BLU.

Manfaat yang dirasakan masyarakat dapat dirasakan baik langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yaitu masyarakat dapat menggunakan rumah negara serta dapat berpartisipasi dalam investasi.

Adapun secara tidak langsung yaitu berkurangnya pembebanan rumah negara pada APBN serta semakin tingginya kualitas pelayanan PNS kepada masyarakat.

Baca juga: Kemenkeu: Nilai BMN dihibahkan hingga Maret capai Rp10,08 triliun

Baca juga: Ketua DPD minta proteksi asuransi bagi aset bangunan negara yang vital


*) Edy Gunawan adalah Kepala Biro Manajemen BMN dan Pengadaan Kementerian Keuangan RI

Copyright © ANTARA 2021