Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum tata negara Dr Irman Putra Siddin berpendapat, MPR perlu turun tangan menyelesaikan "konflik" antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terkait kewenangan dalam pembahasan rancangan undang-undang.

"MPR perlu turun tangan menyelesaikan konflik dua kamar yang sama-sama ada di Senayan ini. Tak perlu jauh-jauh, di sekitarnya dulu diselesaikan," katanya dalam diskusi mengenai arogansi politik dan refleksi legislasi di Gedung DPD RI di Senayan Jakarta, Jumat.

Menurut dia, "konflik" itu menunjukkan ego masing-masing mengenai kewenangannya dalam proses legislasi. DPD RI ingin berperan lebih besar, tetapi DPR tidak mau menerima hal itu.

Irman Putrasidin mengatakan bahwa proses relasi ketatanegaraan antara DPR dan DPD masih sulit untuk mendapatkan bentuk yang sesungguhnya antara daerah dan kekuasaan politik yang ada di DPR.

"Jadi yang harus disadari semua bahwa DPD tidak hanya kerja semata sebagai parlemen, DPD harus dilihat sebagai keinginan daerah-daerah seluruh Indonesia, untuk mengambil peran sebagai aktor utama dalam kebijakan nasional, " katanya.

Seharusnya, kata Irman, setelah perubahan UU tentang Susunan Kedudukan (Susduk) menjadi Undang Undang MPR/DPR/DPD dan DPRD (MD3), konflik DPD-DPR pelan-pelan tereduksi. Namun, faktanya DPR belum bisa menerima kehadiran daerah (DPD), untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan RUU.

"Saya kira ini yang harus direnungkan kembali oleh DPR bahwa ini sudah konstitusional atau tidak atau arogansi tanda kutip atau mungkin juga ketidaktahuan atau ada konflik pribadi sehingga membawa-bawa nama lembaga," katanya.

Ketua Komite IV DPD RI John Pieris (anggota DPD RI dari Maluku) menganggap DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif pada rapat kerja antara Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI dan Komisi II DPR, mengenai pembahasan RUU Keistimewaan DIY, Rabu (26/1).

John juga menilai bahwa hegemoni kekuasaan ada di DPR, sementara DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya "marginal power". Kondisi ini menafikan mekanisme "checks and balances" dari segi trias politika.

Menurut John, DPD RI selama ini terkesan "ngotot" untuk mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD RI. "Saya tidak begitu percaya kalau kepentingan-kepentingan daerah itu diperjuangkan oleh partai politik, sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik, jadi mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya itu," katanya.

Pengamat politik dari LIPI Dr Siti Zuhro mengatakan bahwa DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. "Equality itu yang tidak ada dan ini adalah pantas kalau disebutkan arogansi karena ada upaya untuk mengerdilkan secara jelas dan nyata dari pihak DPR terhadap keberadaan dan upaya DPD untuk sebetulnya ingin menunjukkan kinerjanya," kata Siti.

Siti menambahkan, DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. Namun DPR tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan. "Ada kesengajaan dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja," katanya.

Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, relasi yang terbangun antara DPD-DPR menunjukkan dua ciri khas. Pertama, upaya salah satu pihak, yaitu DPD dalam menemukan wujud kemitraan dan sinergi yang akan dibangun.

Sedangkan di sisi DPR adalah menyediakan terbentuknya dua hal tersebut tanpa mengurangi otoritas yang dimiliki. Kedua, adalah dinamika yang terjadi sebagian memperlihatkan adanya ketegangan di tingkat prosedur.

Menurut Ronald, ketegangan ini ternyata tidak dituntaskan dalam pada tata tertib sidang dan hanya berhenti pada batas itu, padahal ada kebutuhan-kebutuhan alat kelengkapan yang ingin terlibat lebih jauh. "Konsekuensinya itulah yang terjadi pada Rabu, karena tidak ada pembicaraan jangka panjang, bagaimana menyepakati tentang ikut membahas," katanya. (S023/Z002/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011