Bandarlampung (ANTARA News) - Kebakaran kapal feri KM Lautan Teduh II di Perairan Merak pada Jumat (28/1) dini hari lalu membukakan mata semua pihak untuk segera memperbaiki keselamatan pelayaran, terutama rute Merak-Bakauheni.

Kebakaran kapal feri itu bukan yang pertama terjadi di pelayaran feri rute Merak-Bakauheni. Lima tahun lalu, yakni 16 November 2006, KM Lampung juga terbakar saat hendak bersandar di Pelabuhan Merak.

Kapal tua itu terbakar meski setiap tahunnya disebutkan selalu menjalani perawatan dan perbaikan.

Pasca-kebakaran KM Lampung itu, keamanan dan keselamatan pelayaran kembali mendapatkan perhatian, seperti mewajibkan semua kendaraan mematikan mesinnya saat berada di kapal, melarang merokok di sembarangan tempat serta memperagakan kepada penumpang cara menyelamatkan diri jika terjadi musibah, termasuk cara memakai pelampung dan evakuasi ke sekoci.

Ketentuan itu ternyata tidak konsisten dilaksanakan pengelola kapal dan administrasi pelabuhan. Misalnya, mobil dan bus-AC antarprovinsi masih dibiarkan menghidupkan mesinnya selama pelayaran. Karenanya, sejumlah penumpang pada malam hari lebih memilih tidur di dalam bus yang ber-AC daripada keluar menuju ruang penumpang.

Banyak penumpang kapal feri yang mengkhawatirkan kondisi seperti itu, dan berharap ada tindakan tegas dari awak kapal terhadap pengemudi dan penumpang yang mengabaikan peraturan keselamatan pelayaran tersebut.

Sedikitnya 17 kapal feri belayar setiap hari dari Merak ke Bakauheni atau sebaliknya, sehingga menjadikan Selat Sunda bagian utara atau Perairan Merak-Bakauheni termasuk kawasan ramai pelayaran. Kapal itu beroperasi selama 24 jam mengangkut puluhan ribu penumpang dan ribuang kendaraan dari Sumatra ke Jawa, maupun sebaliknya.

Kebakaran KM Lampung dan KM Lautan Teduh II telah membawa luka mendalam bagi para korban dan keluarganya. Kebakaran terakhir jelas makin mencoreng keselamatan pelayaran feri rute Merak-Bakauheni.

Penyebab kebakaran KM Lautan Teduh II masih diinvestigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Investigasi kronologis kebakaran itu diperkirakan membutuhkan waktu 30 hari di lokasi kejadian, sedangkan target penuntasannya bisa memakan waktu sampai delapan bulan.

Berdasarkan dugaan sementara, sebagaimana diungkapkan Dirjen Perhubungan Darat Dephub Suroyo Alimoesi berdasarkan hasil wawancara polisi dengan sejumlah saksi mata dan nahkoda kapal, kebakaran berasal dari salah satu kendaraan yang ada di dek kapal.

Korban tewas KM Lautan Teduh II diperkirakan masih bertambah, karena dilaporkan banyak penumpang yang terjun ke laut tanpa menggunakan pelampung.

Sejauh ini, korban meninggal yang tercatat sudah mencapai 18 orang. Pencarian korban terus dilakukan hingga hari ini atau Senin (31/1). Meski demikian, pencarian korban bisa diperpanjang dengan dengan melihat situasi lapangan.


Jangan terulang

Tidak terulangnya kebakaran dan kecelakaan kapal feri di Selat Sunda dan perairan Indonesia lainnya tentu merupakan harapan semua pihak, terutama para penumpang.

Peluang kecekaan itu sebenarnya sangat bisa diminimalkan jika aturan keselamatan dan keamanan pelayaran diterapkan secara konsisten.

Setelah KM Lautan Teduh II terbakar, Menhub Freddy Numberi mengemukakan rencana pihaknya untuk membenahi kapal-kapal feri serta menginventarisasi alat-alat keselamatan pada kapal tersebut.

Menhub menyebutkan pihaknya kedepan akan melakukan perbaikan prosedur dan sistem transportasi agar kecelakaan serupa tidak terulang kembali.

Berkaitan itu, Wakil Presiden Boediono telah meminta Menhub segera mengambil langkah-langkah tepat dan konkret untuk memperbaiki sistem transportasi.

Sementara itu, para pengguna jasa kapal feri juga mengharapkan keamanan dan kenyamanan pelayaran kapal feri diperbaiki, apalagi tarif kapal itu cenderung naik dari tahun ke tahun.

Mulai pertengahan November 2010, tarif penyeberangan naik berkisar 15 sampai 17 persen. Misalnya, tarif mobil pribadi (golongan IV) yang sebelumnya Rp 198.000/unit, menjadi Rp 232.500/unit.

Banyak juga penumpang yang mengharapkan peremajaan kapal feri, karena rata-rata kapal feri yang dioperasikan sudah berusia tua, seperti berusia di atas 30 tahun. Hanya beberapa kapal feri yang buatan tahun 1997 atau telah berusia 14 tahun.

Adalah lumrah jika usia kapal dikaitkan dengan keselamatan pelayaran, meski kelalaian dan ketidakdisiplinan tampaknya yang paling mengancam keselamatan tersebut.

Asosiasi pengusaha feri Indonesia (Indonesia Ferry Companies Association/IFA) menyebutkan keselamatan pelayaran ditentukan beragam unsur, di antaranya administrator pelabuhan/syahbandar sebagai regulator, perusahaan pelayaran sebagai operator, pelabuhan sebagai fasilitator, dan pasar sebagai pengguna jasa. Faktor lainnya, kelaikan kapal ditunjang berkualitas atau tidaknya industri galangan dan sumber daya manusia (SDM).

Kapal penyeberangan di Indonesia disebutkan sudah mengadopsi standar peraturan internasional dan telah distandarisasi oleh Biro Klasifikasi Indonesia baik dari sisi konstruksi, permesinan, instalasi listrik, maupun garis muat. Juga dilakukan inspeksi untuk melihat sisi nautis seperti alat keselamatan, radio, dan sistem kenavigasian.

Berkaitan terulangnya kebakaran feri, Administrasi Pelabuhan Bakauheni kembali menyatakan upayanya untuk meningkatkan keselamatan pelayaran dengan menjalin kerjasama bersama PT Angkutan Sungai Danau dan Perairan (ASDP) Indonesia Ferry dan Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Perairan (Gapasdap).

Menurut salah satu perwira Administrasi Pelabuhan Bakauheni, Syamsul Rizal, mulai Februari pihaknya akan melakukan penertiban dengan melarang semua kendaraan menghidupkan mesin saat berada di dek kapal.

Dia mengatakan, sebelum kapal berangkat pihaknya akan melakukan pengecekan langsung ke seluruh bagian kapal, terutama tempat parkir kendaraan.

"Semua mesin kendaraan harus mati saat di dalam feri. Kami tidak akan memberikan izin berlayar sebelum petugas lapangan melakukan pengecekan," katanya.

Menurutnya, regulasi tersebut telah dilakukan, namun selama ini tidak dihiraukan meskipun telah diberikan teguran.

Selain itu, kata dia, seluruh kendaraan dan penumpang juga didata lebih baik agar didapatkan jumlah penumpang yang sebenarnya. (*)

(T.H009/T010)

Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011