Surabaya (ANTARA News) - Hujan menjadi syarat wajib perayaan Tahun Baru Imlek, sejumlah warga keturunan Tionghoa di Indonesia, terutama Jawa Timur karena percaya turunnya air langit adalah restu Sang Pencipta terhadap awal segala kebaikan masa depan.

Upaya merealisasi limpahan kemurahan-Nya pada Tahun Baru Imlek 2562 (2011) dan tahun sebelumnya sering mereka lakukan dengan sembahyang bersama keluarga, baik di klenteng maupun rumah masing- masing. Tak jarang proses yang bertujuan mendoakan arwah leluhur dilakukan dengan cara menghidangkan makanan persembahan bagi Dewa Langit.

Kehadiran beragam "si manis" yang tersaji baik saat sembahyang atau ketika berkumpul bersama keluarga di rumah selama Imlek selalu dirinci secara khusus. Pesona penganan perlambang hidup baik tersebut, di antaranya manisan dan aneka permen.

"Tradisi keluarga kami saat Imlek menyediakan kue keranjang. Lalu, pada hari `H` Imlek kami sengaja puasa mengonsumsi makanan mengandung daging agar nuansa sakralnya kian terasa," kata warga keturunan China di Surabaya, Nina Susilo.

Berbagai penganan manis tersebut, sengaja disuguhkan khususnya bagi Dewa Langit supaya laporannya ke Sang Khalik terhadap setiap tindakan manusia di bumi selalu baik. Sajian lain setiap Imlek yakni kuliner berbahan hewani baik dari binatang yang hidup di darat diwakili daging ayam atau babi maupun laut dengan aneka ikan.

Di samping itu, perempuan berparas oriental itu mengaku, selalu ingat membeli sejumlah buah jeruk dan "Ping Puo" (apel dalam bahasa Mandarin) yang dipercaya sebagai buah pembawa keselamatan.

Senada dengan Nina, warga keturunan China di Surabaya, Johan Suryadharma, membenarkan, setiap peringatan Imlek jarang melakukan persiapan istimewa maupun pendanaan khusus. Biasanya berkumpul bersama keluarga di rumah sembari menikmati makan malam.

Saat itu, hidangan wajib keluarganya yakni jeruk. Buah dengan bentuk bulat tersebut dipercaya mendatangkan keberuntungan (hoki). Kebiasaan serupa juga terjadi di Hong Kong menyusul tradisi anjang sana ke rumah keluarga sering dihiasi buah tangan berupa sekeranjang jeruk.

Pria berusia 61 tahun yang sering bertandang ke luar negeri itu, menceritakan pada umumnya jeruk tersebut berjumlah delapan buah atau sembilan buah bisa juga delapan kilogram hingga sembilan kilogram.

"Masyarakat di sana yakin angka delapan merupakan simbol kekayaan sedangkan angka sembilan dimaknai sebagai kecukupan," paparnya.

Masih dikatakan Johan, animo masyarakat Jatim merayakan Tahun Baru Imlek 2562 (2011) semakin tinggi, menyusul banyaknya pernak - pernik perayaan momentum tersebut yang sudah dijual 30 hari sebelum hari "H" (3/2) di sejumlah pusat perbelanjaan.

Bahkan, beberapa konsumen yang meminati beragam aksesoris Imlek seperti lampion dan pohon uang tidak hanya warga keturunan China di wilayah ini melainkan orang awam.

Akan tetapi kondisi itu tampak berbeda bagi sebagian orang yang memperingati Imlek dengan cara sederhana. Mereka justru memilih berdiam diri di rumah sembari makan dengan menu seadanya, asalkan seluruh anggota keluarga bisa berkumpul.

Terkait atmosfer Imlek tahun ini dengan tahun - tahun sebelumnya, Johan menilai, tiada perbedaan khusus. Namun, perayaan Imlek serasa istimewa ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu, peluang warga keturunan China di Indonesia untuk mengaktualisasi diri sangat besar.

Salah satunya hari libur nasional setiap Imlek. Akibatnya kini banyak masyarakat berkebangsaan Indonesia memiliki minat lebih mempelajari sejarah dan perkembangan budaya China.

Mengenai makna Imlek tersendiri, Johan mengungkapkan, hanya ingin meneladani nilai kebersamaan dan kerukunan yang diberikan para leluhurnya secara turun - temurun.

"Kami jarang bisa merayakan Imlek dalam waktu lama karena sibuk bisnis sehingga saat Imlek hanya libur satu hari. Jadi saat Imlek kami hanya di rumah agar kualitas berkumpul bersama keluarga bisa optimal," tuturnya.

Di samping itu, pada tahun Kelinci Emas ini pria dua anak tersebut berharap, tidak ada lagi sejumlah kasus yang melanda Tanah Air baik di bidang politik, perekonomian, maupun antarumat beragama. Untuk itu, masyarakat Kota Pahlawan sangat menanti perdamaian atas perseteruan antara DPRD Surabaya - Wali Kota Surabaya.

Apabila perseteruan keduanya berlanjut maka ke depan bisa mengancam terlambatnya pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya dan bermuara pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Surabaya.

Di sisi lain, ia optimistis, pada tahun ini segala permasalahan yang terjadi pada tahun 2010 (shio macan) perlahan dapat teratasi termasuk anomali cuaca yang memperburuk hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan masyarakat. Selain itu, kemajuan bangsa Indonesia dapat tercipta terutama di bidang ekonomi.

"Kelinci emas mempunyai pesona menarik karena memiliki karakter lincah, kalem, senang hidup damai. Ke depan, semangatnya bisa mengoptimalkan upaya masyarakat mengumpulkan pundi-pundi keuangan menuju kesejahteraan bangsa," katanya menjelaskan.



Shalat Malam


Sementara itu, kemeriahan perayaan Imlek juga dimaknai tersendiri oleh Humas Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya, Unang Angkawidjaja.

Mualaf dengan nama China, Weng Kai Wen, yang mudah dijumpai di lingkungan Masjid Cheng Hoo Surabaya mengaku, ketika Imlek tiba keluarga harmonis yang dibinanya tetap merayakan dengan toleransi perbedaan keyakinan.

"Imlek kan Tahun Baru China, budaya leluhur itu kami rayakan sesuai keyakinan masing-masing," katanya menambahkan.

Bagi pria berusia 62 tahun itu, perayaan Imleknya diwujudkan dengan shalat malam (Tahajud) dua rakaat memohon kepada Allah SWT agar diberi kesehatan, panjang usia, murah rezeki, dan keselamatan seluruh keluarganya. Lalu, pada pagi hari pria yang memeluk agama Islam sejak tahun 2003 itu, mengajak anak dan cucu ziarah makam istri di Lawang, Malang.

Selama di sana, ia dan keluarga menabur bunga sekaligus berdoa bersama. Setelah itu, anak, cucu, dan menantu melakukan sembahyang serta baru sore hari berkumpul di kediamannya untuk makan bersama. Hidangan yang disajikan pada malam jelang Imlek tersebut sengaja diramunya sendiri.

"Kalau Imlek, biasanya kami masak mi agar ke depan bisa panjang usia. Selain itu, menyajikan ikan bandeng, jamur," kata Unang Angkawidjaja.

Namun, sebelum hari "H", pria yang mengasuh kedua anaknya seorang diri sepeninggal istrinya itu, telah menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan Imlek seperti aneka buah misal anggur, jeruk, dan bahan makanan. Bahkan, ia sering mengolah sarapan bagi darah dagingnya tersebut.

Di sisi lain, sebelum menjadi mualaf, Unang selalu mendapat didikan tentang budaya leluhurnya dari kedua orang tua yang berdarah China. Kemudian, pascamenjadi Muslim, pria itu tidak lantas lupa ajaran leluhur salah satunya merayakan Imlek walaupun sampai sekarang putra putri dan dua orang cucunya tetap beragama non-Islam.

"Saya membebaskan mereka memeluk keyakinan yang dipercayainya. Akan tetapi, keluarga kecil ini saya upayakan tetap hidup rukun, termasuk menghormati saya sebagai orang tuanya," tuturnya.

Sebagaimana tradisi Imlek, Unang tak lupa membagi angpau kepada keluarganya, teman yang membutuhkan, dan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Berbagai angpau itu tak hanya sebagai hadiah tetapi lebih mempererat hubungan dengan semua orang.

Sepaham dengan Unang, Pengamat Kehidupan Masyarakat China Surabaya, Elisa Christiana, membenarkan, Imlek bukan hanya terbatas pada nuansa merah, pesta pora, dan kegembiraan masyarakat menyaksikan pertunjukan barong sai atau liang - liong.

Akan tetapi, lebih terhadap rasa syukur dan doa yang dipanjatkan untuk kesejahteraan ke depan. Di sisi lain, ia merasa, bangga karena pada era kekinian Imlek bukan lagi menjadi barang asing bagi rakyat Indonesia, melainkan bagian dari budaya nasional.

"Kami harap kerukunan dan kedamaian bangsa ini tetap dinomorsatukan, sehingga tercipta persatuan yang kokoh," ujar perempuan yang juga menjabat sebagai Dosen Jurusan Sastra China Universitas Kristen Petra Surabaya. (C004/Z002/K004)

Oleh Oleh Ayuk Citra Sukma Dan Chan
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011