Magelang (ANTARA News) - Kecelakaan perahu karet dalam arung jeram di Sungai Progo, Sabtu (5/2) bukan karena banjir lahar dingin, kata Formatur Paguyuban Operator Arung Jeram Magelang Imam Syafii.

Ia di Magelang, Minggu, mengatakan, lokasi kecelakaan arung jeram di Sungai Progo bagian bawah merupakan pertemuan Sungai Progo dari Temanggung, Elo yang berhulu di Gunung Merbabu, dan sejumlah sungai yang berhulu di Gunung Merapi seperti Pabelan dan Putih.

Sebelum banjir lahar dingin Merapi, kata dia, arus dari Sungai Elo dan Progo mendominasi, tetapi setelah banjir lahar, arus dari Merapi yang mendominasi.

Menurut dia, banjir lahar dingin hanya berpengaruh terhadap arus air di Sungai Progo bawah, sedangkan bebatuan dan alur sungai tidak berubah. "Kami sering melakukan survei lokasi untuk mengetahui arus sungai dan kondisinya masih dalam tahap aman," katanya.

Ia menyebutkan, survei alur sungai selalu dilakukan pada waktu tertentu, yakni setelah musim kemarau, setelah banjir bandang dan sebelum melakukan perjalanan arung jeram.

"Arus sungai tidak bisa diprediksi, seperti jika tiba-tiba ada pohon yang tumbang ke sungai dan menghalangi arus," katanya.

Ia mengatakan, sebuah jadwal arung jeram terpaksa dibatalkan akibat perubahan arus tiba-tiba hingga melebihi batas aman. Bahkan, pembatalan pernah dilakukan sangat mendadak saat semua peserta telah berkumpul dan bersiap turun ke sungai.

Menurut dia, dalam dunia arung jeram, Sungai Progo bawah merupakan jalur khusus profesional, bukan wisata. Lokasi ini memiliki kesulitan tinggi dengan perbandingan aman dan risiko 50 dibanding 50.

"Perjalanan arung jeram di lokasi tersebut harus didampingi oleh dua operator serta diikuti minimal satu rescue. Peserta arung jeram juga harus memenuhi persyaratan seperti dewasa, berpengalaman dan bisa renang di arus air," katanya.

Ia mengatakan, kondisi tersebut berbeda dengan arung jeram wisata yang ada di Sungai Progo atas dan Elo. Di lokasi ini memiliki tingkat kesulitan kecil dan risiko minim. "Lokasi ini ditujukan bagi para pemula," katanya.

Imam mengatakan, kecelakaan arung jeram hingga menyebabkan korban meninggal baru pertama terjadi untuk perjalanan yang didampingi operator komersial. Kasus yang terjadi tahun 2007, kecelakaan saat sekelompok mahasiswa melakukan pelatihan.

Pasca kejadian Sabtu (5/2) yang menimbulkan dua korban meninggal, paguyuban yang memiliki 14 anggota operator itu akan mengevaluasi standar operasional prosedur (SOP) dan operator.
(H018/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011