Kairo (ANTARA News) - Seperti perkiraan sejak awal dalam berbagai jajak pendapat menjelang referendum, Sudan bakal terbagi menjadi dua negara: Sudan Utara dan Sudan Selatan.

Pada akhirnya, dugaan tersebut tidak meleset ketika hasil akhir referendum diumumkan awal pekan ini, Senin (7/2) , bahwa Sudan Selatan dengan suara mayoritas mutlak harus berpisah dengan Sudan Utara.

Kontan, Sekjen PBB Ban Ki-moon dan sejumlah negara menyambut hasil referendum dan sekaligus mengimbau kedua pihak, Sudan Utara dan Selatan untuk segera menyepakati sejumlah isu, yang berasal dari pemisahan dan agar menyelesaikan masa depan wilayah-wilayah perbatasan yang disengketakan.

"Referendum dilakukan dalam suasana damai dan transparan. Ini adalah sebuah pencapaian besar bagi seluruh rakyat Sudan," ujar Ban Ki-moon.

Pernyataan senada diutarakan Indonesia dengan memuji pelaksanaan referendum mulai dari proses pendaftaran pemilih hingga pengumuman hasil referendum.

"Indonesia memuji sikap pemerintah Sudan dan pemerintah daerah otonomi Sudan selatan yang mengakui hasil referendum tersebut," kata Ketua Tim Pemantau Indonesia untuk Referendum Sudan, Dr. Sujatmiko kepada ANTARA Kairo segera setelah pengumuman tersebut.

Pencapaian politik ini terjadi setelah masa transisi enam tahun sesudah Perjanjian Perdamaian Menyeluruh (Comprehensive Peace Agreement/CPA) pada 2005 untuk mengakhiri dua dasawarsa perang saudara.

Masa bergolak itu pada akhirnya diakhiri dengan pelaksanaan pemberian suara untuk menentukan nasib sendiri dari 9-15 Januari 2011 yang diikuti sekitar empat juta rakyat Sudan Selatan.

Landasan referendum adalah , sebagai tahap akhir dari rangkaian kesepakatan antara pemerintah Khartoum dan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) di selatan, satu perang yang diklaim menewaskan sekitar dua juta orang dan jutaan orang lainnya terlantar di kamp-kamp pengungsian.

Mereka diperkenankan memilih tetap bergabung atau berpisah. Dan ternyata, 98,83 persen dari seluruh suara yang dihitung menghendaki kemerdekaan, yang artinya Sudan Selatan secara resmi harus berpisah dengan Sudan Utara.

Menurut rencana, Sudan Selatan akan memproklamasikan kemerdekaannya pada 9 Juli mendatang.



Banyak Tantangan

Tak sedikit tantangan yang akan dihadapi Sudan Selatan untuk melangkah sebagai negara baru, terutama di bidang keamanan pembangunan ekonomi untuk mengejar kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.

Namun tak kurang penting, menurut Sekjen PBB Ban Ki-moon, adalah soal pembahasan CPA untuk mencapai "perjanjian kerangka kerja menyeluruh" yang merupakan kunci dari isu utama referendum.

Persoalan itu termasuk pembagian kekayaan, pengelolaan aset dan utang, kewarganegaraan dan pengaturan keamanan perbatasan dengan Sudan Utara.

Selain itu adalah persoalan konsultasi berkaitan dengan Blue Kordofa Nil, masalah Abyei, suatu daerah di antara Sudan utara dan selatan yang kaya sumberdaya alam, yang memiliki suara tersendiri dalam menentukan nasib rakyatnya.

Berkaitan dengan referendum di Abyei, hingga kini komisi referendum belum ditetapkan karena masih ada ketidaksetujuan mengenai siapa yang akan memenuhi syarat sebagai memilih.

Ini artinya, pekerjaan rumah Sudan Selatan belum selesai, bahkan baru mulai menapaki tahap demi tahap, dengan tujuan akhir rakyat Sudan Utara dan Selatan bisa hidup berdampingan, bekerjasama, secara damai, dalam stabilitas keamanan dan bermartabat.



Tonggak Sejarah


Presiden Sudan, Omar Al-Bashir, secara resmi menyatakan menerima hasil pemisahan itu.

Berbagai pemimpin dan politisi dunia pun memberi komentar atas "tonggak sejarah" itu, yang diduga akan mengubah peta geopolitik di benua Afrika.

Direktur Badan PBB untuk Program Pembangunan (United Nations Development Programme/UNDP), Helen Clark, menyatakan terima kasih kepada Komisi Referendum Sudan Selatan, selain semua mitra internasional yang bekerja sama dengan UNDP dalam membantu menyukseskan pelaksanaan pemungutan suara referendum.

Pembentukan satu pemerintahan yang solid merupakan tugas utama negara baru tersebut, yang akan menjadi negara termuda di dunia.

Banyak aktor yang ikut berperan dalam proses referendum ini, dan mereka tentunya mengharapkan segera terbentuknya satu pemerintahan yang kuat di Sudan Selatan, yang dipandu oleh program pembangunan jangka panjang, dan masa depan keamanan yang mantap di seluruh kawasan tersebut.

Dalam kaitan itu, Sekjen PBB menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu rakyat Sudan dalam upaya mereka menegakkan stabilitas dan pembangunan. PBB menyatakan berkomitmen dalam upaya tersebut.

Ketua Komisi Uni Afrika (AUC), Jean Ping, menyampaikan ucapan selamat kepada rakyat Sudan dan para pemimpin mereka.

"Sudan telah mencatat tragedi sejarah perpisahan, dan Afrika mengakui hak penentuan nasib sendiri rakyat Sudan Selatan, serta mendukung hak-haknya sebagai negara anggota Uni Afrika ke-54," papar Jean Ping.

Pimpinan Uni Afrika menyatakan dukungan untuk bekerja sama bagi suksesnya mengatasi berbagai persoalan penting dan mendesak, berkaitan dengan akan lahirnya negara baru itu.

Sementara itu, utusan khusus Amerika Serikat di Sudan, Scott Gration, menegaskan kembali komitmen pemerintah Amerika untuk mencoret Sudan dari daftar negara pensponsor terorisme intenasional.

Proses itu sudah dimulai dan mungkin perlu waktu sekitar enam bulan, menurut Gration setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Sudan, Ali Karti, pada pekan lalu.

Sudan dimasukkan dalam daftar negara sponsor terorisme sejak 1993 oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dengan tuduhan Khartoum melindungi para tokoh garis keras internasional dan lokal, termasuk Osama Bin Laden, pemimpin Al Qaida.

Alhasil, kendati banyak tantangan, rakyat Sudan sudah menentukan nasibnya sendiri dan dengan demikian, jutaan warga Sudan di kamp-kamp pengungsian di Sudan dan di beberapa negara tetangga dapat kembali membangun masa depan mereka. (MO43/K004)

Oleh Oleh Munawar Saman Makyanie
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011