Jakarta (ANTARA) -
Sekjen Partai Gelora Mahfudz Siddiq menyebutkan kekuatan politik tertentu memanfaatkan sentimen-sentimen keagamaan.dapat mengganggu terhadap konsep "Ummatan Wasathan".
 
Akibatnya, kata Mahfudz, muncul intervensi kepentingan politik pada agenda-agenda keagamaan.
 
"Contoh ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan Capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," ujar Mahfudz dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan" secara daring, di Jakarta, Jumat.
 
Menurut dia, "Ummatan Wasathan" merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat dan berdiri di tengah-tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
 
Dia menyebutkan ada dua esensi tentang "Ummatan Wasathan", yang pertama adalah kebaikan atau Al Khairiyah. Dan yang kedua adalah prinsip keadilan atau keseimbangan.
 
"Jadi bila mau membangun masyarakat yang 'Ummatan Wasathan', maka kebaikan dan keadilan atau keseimbangan harus menjadi nilai dan orientas bersama," ujar Mahfudz dalam siaran persnya.

Baca juga: Mahfudz: Ada yang ingin jadikan TWK KPK panggung besar
 
Sedikit saja bergeser dari dua nilai tersebut, maka akan menjauh dari masyarakat Ummatan Wasathan, bahkan bisa membuat umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif.
 
Menurut dia, penyimpangan dari prinsip-prinsip "Ummatan Wasathan" ini terjadi bukannya hanya karena faktor politik, tetapi faktor pemahaman.

Terkait faktor Pemahaman, Mahfudz mencontohkan pengalaman 3 tahun lalu, ketika dirinya meminta pengurus mushalla di dekat rumahnya mengecilkan suara pengeras suara karena di riumahnya ada balita sakit.

"Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik yang melarang azan di mushalla, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz.
 
Persoalan pengeras suara itu, lanjut dia, menunjukkan bahwa dalam Ummatan Wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik, misalnya suatu mushalla dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik.
 
"Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang di situ sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," ujarnya.

Baca juga: Anis Matta: Persoalan besar pandemi adalah ketidakpastian informasi
 
Dalam kesempatan yang sama, pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan menyatakan Islam itu kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.
 
Indonesia, lanjut dia, bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.
 
"Dan sudah saatnya memang, Indonesia berani tampil sebagai pemimpin dunia Islam, di tengah kerusakan yang timbul akibat 'power politics' negara-negara besar di negeri-negeri Muslim seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak dan Yordania," ujar Imron Cotan.
 
Dalam kesempatan yang sama, Pengacara sekaligus Politisi PDIP Kapitra Ampera menegaskan, umat pertengahan atau Ummatan Wasathan ini adalah doktrin yang ada dalam ajaran Islam.
 
Namun, lanjutnya, harus dibedakan antara doktrin beragama dengan perilaku beragama.
 
"Nah dalam konteks politik, Islam itu tidak bisa menjadi ideologi. Islam itu 'guidance of life'. Islam itu adalah payung ideologi. Sehingga bila Islam itu menjadi ideologi, maka dia akan turun derajatnya," ujar Kapitra.

Baca juga: Anis Matta: Persoalan besar pandemi adalah ketidakpastian informasi

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021