Jakarta (ANTARA News) - BUMN farmasi meminta pemerintah memberikan dana subsidi dalam rangka memberi pelayanan kepada publik untuk pengadaan obat generik sangat esensial demi menjamin ketersediaan obat murah berkualitas bagi masyarakat.

Hal itu disampaikan sejumlah BUMN farmasi pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR bersama dengan Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Strategis Irnanda Laksanawan, di Gedung MPR/DPR-RI, Jakarta, Kamis.

Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk M Syamsul Arifin menuturkan, untuk melaksanakan public service obligation (PSO) dibutuhkan dana setidaknya sekitar Rp400 miliar untuk menjalankan fungsi pengadaan obat esensial.

"Kalau kami tidak mendapat PSO, kinerja keuangan sulit untuk ditingkatkan, karena di satu sisi harus menjalankan operasional perusahaan tapi di sisi lain juga ditugasi menyediakan obat generik," ujarnya.

Selama ini, menurut dia, Kimia Farma tidak menerima subsidi dari pemerintah sehingga sangat wajar jika diberikan PSO agar tidak mengganggu kinerja keuangan perseroan.

Selain PT Kimia Farma, dua perusahaan lain yang juga ditugasi pemerintah untuk menyediakan obat generik yaitu PT Biofarma dan PT Indofarma Tbk.

Sejak 2008 BUMN farmasi tidak mendapat subsidi obat dari pemerintah.

Dana PSO selain untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat dan vaksin bagi masyarakat, juga untuk membantu perusahaan memberikan pelayanan yang prima dan berkelanjutan, kualitas produk yang baik dan tepat distribusi tepat waktu, termasuk upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas produksi.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima menuturkan, usul BUMN farmasi untuk mendapatkan PSO sangat beralasan.

"PSO menjadi hal yang logis dan masuk akal. Pemerintah menentukan harga batas bawah dan batas atas obat generik. Bisa dibayangkan jika harga pokok produksi lebih mahal, perusahaan yang bersangkutan akan mengalami kerugian," ujarnya.

Ia menambahkan, Komisi VI DPR sedang melakukan uji pengawasan dan anggaran terhadap BUMN farmasi.

Secara keseluruhan, katanya, pemberian dana PSO harus dilihat dari aspek korporasi, jika perusahaan berbentuk perseroan terbatas diharuskan mampu meraih keuntungan, kalau berbentuk perum selain bertugas untuk pelayanan publik, tentu juga harus mampu mencetak laba.

"Kalau diharuskan membuat obat generik yang harganya dipatok oleh pemerintah, sangat dimungkinkan antara harga jual dan ongkos produksinya justru mengakibatkan perusahaan tidak untung, atau juga merugi," ujarnya.

Ia menggambarkan, pasar produk obat-obatan di dalam negeri mencapai Rp36 triliun, namun pangsa pasar BUMN farmasi masih sangat minim atau hanya mencapai Rp9 triliun.

Untuk itu, katanya, perlu dukungan penuh agar BUMN farmasi dapat menguasai industri farmasi dari hulu hingga hilir, termasuk untuk mengembangkan riset dan pengembangan farmasi di tanah air. "Melihat kondisi seperti ini dana PSO seharusnya sudah harus direalisasikan pada RAPBN-P pada April 2011," ujarnya.

Meski begitu besaran jumlah PSO yang diterima masing-masing BUMN farmasi harus disesuaikan dengan kapasitas perusahaan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP).

"Pengawasan penggunaan dana PSO tersebut juga harus diperketat sehingga lebih efektif dan efisien dan mampu mendorong kinerja keuangan perusahaan," ujarnya.
(R017)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011