Lima tahun terakhir Polri sudah banyak berbenah, terutama di bidang pelayanan, meski tentu masih ada kekurangan di sana sini.
Jakarta (ANTARA) - Merespons kritik masyarakat atas kinerja aparat kepolisian belakangan ini, terutama terkait dengan kekerasan yang dilakukan polisi, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat telegram untuk jajarannya.

Surat telegram atas nama Kapolri dengan Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8./2021 itu ditandatangani oleh Kepala Divisi Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo, Senin, 18 Oktober 2021. Terdapat 11 arahan atau cara bertindak yang tertuang dalam telegram tersebut.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Argo Yuwono, terbitnya telegram itu dalam rangka mitigasi dan pencegahan kasus kekerasan berlebih yang dilakukan oleh anggota Polri agar tidak terulang kembali, dan agar ada kepastian hukum serta rasa keadilan.

Isi telegram itu selengkapnya adalah:

1. Agar mengambil alih kasus kekerasan berlebihan yang terjadi serta memastikan penanganannya dilaksanakan secara prosedural, transparan, dan berkeadilan.

2. Melakukan penegakan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan berlebihan terhadap masyarakat.

3. Memerintahkan kepada Kabidhumas untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka dan jelas tentang penanganan kasus kekerasan berlebihan yang terjadi.

4. Memberikan petunjuk dan arahan kepada anggota pada fungsi operasional khususnya yang berhadapan dengan masyarakat agar pada saat melaksanakan pengamanan atau tindakan kepolisian harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

5. Memberikan penekanan agar dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa harus memedomani SOP tentang urutan tindakan kepolisian sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuataan dalam Tindakan Kepolisian.

6. Memberikan penekanan agar dalam pelaksanaan kegiatan pengamanan dan tindakan kepolisian yang memiliki kerawanan sangat tinggi, harus didahului dengan latihan simulasi atau mekanisme tactical wall game untuk memastikan seluruh anggota yang terlibat dalam kegiatan memahami dan menguasai tindakan secara teknis, taktis dan strategi.

7. Memperkuat pengawasan, pengamanan, dan pendampingan oleh fungsi profesi dan pengamanan, baik secara terbuka maupun tertutup, pada saat pelaksanaan pengamanan unjuk rasa atau kegiatan upaya paksa yang memiliki kerawanan atau melibatkan massa.

8. Mengoptimalkan pencegahan dan pembinaan kepada anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya, tidak melakukan tindakan arogan kemudian sikap tidak simpatik, berkata-kata kasar, menganiaya, menyiksa, dan tindakan kekerasan yang berlebihan.

9. Memerintahkan fungsi operasional, khususnya yang berhadapan langsung dengan masyarakat, untuk meningkatkan peran dan kemampuan para first line supervisor dalam melakukan kegiatan pengawasan melekat dan pengendalian kegiatan secara langsung di lapangan.

10. Memerintahkan para direktur, kapolres, kasat, dan kapolsek untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam setiap penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian agar sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku.

11. Memberikan punishment/sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melanggar disiplin atau kode etik maupun pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya.

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo sendiri sejak awal dilantik pada tanggal 27 Januari 2021 menginginkan agar Polri tegas tetapi humanis.

Baca juga: Lemkapi : Telegram Kapolri untuk perkuat pengawasan polisi di lapangan

Kasus  Menonjol

Setidaknya ada dua kasus menonjol tentang kekerasan yang dilakukan anggota Polri baru-baru ini yang menjadi sorotan masyarakat, yakni kasus anggota Polresta Tangerang Polda Banten membanting mahasiswa yang melakukan unjuk rasa pada tanggal 13 Oktober 2021.

Berikutnya kasus anggota Satlantas Polresta Deli Serdang, Polda Sumatera Utara melakukan penganiayaan terhadap pengendara sepeda motor pada tanggal yang sama.

Kedua kasus ini menjadi viral setelah ada yang mengunggah video kekerasan itu di media sosial. Untuk kasus di Tangerang, pelaku, Brigadir NP, kini ditahan oleh Bidpropam Polda Banten. Sementara itu, petugas yang memukul pengendara motor dicopot dari jabatannya dan sedang diperiksa Propam Polresta Deli Sedang

Masih seringnya terjadi pelanggaran oleh anggota Polri memang diakui dan menjadi perhatian serius Divisi Propam Polri. Bahkan, dalam Rapat Kerja Teknis Divisi Propam Polri pada tanggal 13 April lalu, Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo meminta maaf kepada Kapolri atas kinerja jajaran Propam yang belum maksimal sehingga terjadi peningkatan pelanggaran oleh anggota Polri di lapangan.

Dalam forum itu, Ferdy melaporkan bahwa hingga April 2021 terjadi 536 kasus pelanggaran disiplin dan 279 kasus pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

Berdasarkan data Propam dari 2018 hingga 2020 terjadi peningkatan jumlah pelanggaran oleh anggota Polri. Pelanggaran disiplin dengan perincian pada tahun 2018 sebanyak 2.471 kasus, 2019 sebanyak 2.503 kasus, dan pada tahun 2020 sebanyak 3.304.

Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP) pada tahun 2018 tercatat 1.203 kasus, 2019 sebanyak 1.021 kasus, dan pada tahun 2020 sebanyak 2.081 kasus.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam konferensi pers "Laporan Tahunan Bhayangkara" pada tanggal 30 Juni 2021 menyebutkan selama Juni 2020 sampai dengan Mei 2021 terjadi 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi.

Menurut anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras Rozy Brilian, dari 651 kasus tersebut, sebanyak 135 kasus terjadi di tingkat polda, 399 kasus di tingkat polres, dan 117 kasus di tingkat polsek.

Baca juga: Polri tindak tegas anggotanya lakukan kekerasan berlebihan

Dukungan Masyarakat

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mendukung langkah-langkah taktis dan strategis Kapolri Jenderal Pol.  Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas personelnya yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan terhadap masyarakat.

Menurut Didik, langkah Kapolri itu untuk memastikan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power, sewenang-wenang dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Upaya untuk terus melakukan demiliterisasi dan depolitisasi dalam institusi Polri, diharapkan akan mampu mewujudkan pemolisian demokratis.

Masyarakat pun diharapkan memberikan dukungan yang sama. Masukan dan kritik sepanjang dimaksudkan untuk perbaikan institusi Polri, tentu tetap diperlukan.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai sangat penting bagi Polri untuk mendengar suara masyarakat karena polisi merupakan aparat yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat.

Poengky sendiri menilai dalam 5 tahun terakhir Polri sudah banyak berbenah, terutama di bidang pelayanan, meski tentu masih ada kekurangan di sana sini.

Terkait dengan kritik masyarakat kepada Polri, menurut Poengky, sebaiknya tidak mengusung pesimisme, seperti dalam kasus dugaan pencabulan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang sempat ramai di media sosial dengan tagar #percumalaporpolisi.

Menurut dia, pesimisme yang diusung tagar tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. Sebaiknya masyarakat justru mendukung agar Polri dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dan mandiri.

Bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri harus dikritisi, tentu semua sepakat. Namun, tentu tidak bijak jika kritik diarahkan untuk menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi itu.

Masyarakat harus mendukung agar Polri dapat menjalan tugasnya sebagaimana amanat undang-undang, yakni sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM dengan sebaik-baiknya.

Baca juga: Kapolri minta jajaran humanis hadapi aspirasi masyarakat

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021