Mantan Putri Indonesia yang baru saja ditinggal suaminya, Almarhum Adji Massaid (sesama anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, yang juga mantan aktor film) ini mengatakan kondisi seperti sekarang tidak bisa dibiarkan.
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat yang juga pernah main film, sinetron serta bintang iklan, Angelina Sondakh, mengkhawatirkan dunia perfilman nasional kembali terpuruk, akibat masalah perpajakan.

"Masalah terhentinya peredaran film-film Hollywood atau film asing lainnya di bioskop Indonesia, juga mengundang keprihatinan sendiri bagi saya," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis.

Mantan Putri Indonesia yang baru saja ditinggal suaminya, Almarhum Adji Massaid (sesama anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, yang juga mantan aktor film) ini mengatakan kondisi seperti sekarang tidak bisa dibiarkan.

"Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena akan merugikan industri perbioskopan Indonesia dan dikhawatirkan pada giliran berikutnya kembali mengancam produksi film nasional," kata legislator yang juga membidangi lingkup perfilman ini.

Karenanya, Angelina Sondakh (AS) mengingatkan agar masalah ini jangan dibiarkan tanpa solusi, sebab bisa menimbulkan dampak yang luas dan sangat serius bagi industri perfilman nasional jika tidak segera dituntaskan.

Sineas Nasional Terganjal

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, telah terbit aturan baru bagi importer film Hollywood, yakni melalui keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 3/PJ/2011.

Kebijakan ini mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor.

"Inilah menyebabkan pihak MPAA atau asosiasi produsen film Amerika Serikat (`Motion Pictures Association`) menyatakan tidak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia per 10 Februari 2011 ini," ungkap AS.

Kondisi ini, menurutnya, semakin diperparah dengan masih rendahnya produksi dan minimnya kualitas film nasional akibat pajak yang diberlakukan pemerintah.

"Sineas-sineas muda berbakat negeri kita tidak dapat terlalu sering melahirkan karya film bermutu karena terganjal besarnya biaya dan pajak produksi," ujarnya.

Alhasil, lanjutnya, masyarakat kita lebih sering disuguhi film-film nasional yang jauh dari nilai-nilai moral, unsur pendidikan ataupun kebudayaan, karena hanya mampu menyajikan adegan-adegan sensual serta horor.

AS yang juga "duta orang utan sedunia" ini menambahkan, "masyarakat kita saat ini sudah semakin pintar dan mampu menentukan pilihan secara cerdas." Oleh sebab itu, menurutnya, masyarakat tidak akan mudah dipengaruhi dan dipaksa untuk menonton film-film yang kurang bermanfaat.

"Akibat lebih jauh, bisa-bisa bioskop kita menjadi sepi dan lama-kelamaan mati, karena kebanyakan orang lebih memilih menonton `DVD` bajakan asing berharga murah dibandingkan membayar mahal untuk menonton film nasional," katanya menyesalkan.

Peraturan Lebih Fleksibel

AS berkeyakinan pemerintah sangat menyadari akan akibat buruk yang mungkin timbul dan pasti akan segera mencarikan solusi bagi masalah ini.

"Oleh karena itu, saya berharap berbagai upaya harus dikerahkan demi bangkitnya kembali gairah industri perfilman di Indonesia," ujarnya.

Ia juga mengharapkan pemerintah harus bisa melakukan negosiasi maksimal dengan pihak importir film asing, agar tetap mau menayangkan filmnya di Indonesia. Caranya, pemerintah memberlakukan aturan yang lebih fleksibel, serta meninjau kembali nilai pajak yang dianggap memberatkan produsen film Indonesia.

Dengan adanya keseimbangan perlakuan terhadap film nasional dan asing, AS optimis kondisi saat ini tidak akan terjadi lagi.

Malah pastinya, lanjutnya, kehadiran kedua produsen film tersebut membuat bioskop tanah air lebih bervariasi, dapat mengobarkan motivasi dan semangat sineas untuk berkarya menciptkan film-film bermutu.

"Dan tentunya akan tetap menumbuhkan antusiasme masyarakat kita berkunjung ke bioskop yang pada akhirnya juga dapat meningkatkan devisa Negara," kata AS.(M036/H002)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2011