"Ketika terjadi penjajahan di Indonesia, Belanda tidak masuk ke Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman karena dihormati sebagai negari berdaulat."
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, mempertanyakan apakah tradisi yang terjadi selama ini di wilayah kerja dan kratonnya membahayakan bagi keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga harus diubah?

"Apabila berkeinginan mengubah tradisi yang telah mapan, maka harus mampu menjelaskan bahwa yang berlaku selama ini membahayakan bagi keselamatan NKRI dan kelestarian DIY. Apabila tidak bisa membuktikan, maka telah melanggar prinsip kebijakan penguasa harus berpijak pada kemaslahatan umat," kata ," katanya saat memeberikan penjelasan kepada Komisi II DPR Senayan Jakarta, Selasa.

Sri Sultan HB X dan Sri Pakualam VIII diundang Komisi II DPR untuk memberikan masukan bagi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan DIY.

Sultan menjelaskan, selama ini tradisi yang ada di DIY tidak menimbulkan bahaya dan mengancam keutuhan NKRI maupun kehidupan umat. Karena itu, pembuat UU wajib memperhatikan dan mengikuti kehendak umat yang telah merasa nyaman dengan kebiasaan baik yang berlaku dalam tatanan sosial politik di daerahnya.

Sultan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut meminta seluruh masyarakat untuk tidak resisten dengan demokrasi yang telah berjalan selama ini di DIY.

"Seharusnya kita semua tidak resisten dengan demokrasi yang terjadi di DIY yang lebih mementingkan musyawarah," kata Sultan

Menurut Sultan, saat ini demokrasi di Indonesia hanya dimaknai dengan pemilihan langsung tanpa menghiraukan kearifan masyarakat, sehingga tidak lebih sebagai westernisasi.

Sultan menjelaskan bahwa dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama ini dilakukan melalui DPRD yang merupakan representasi dari masyarakat.

"Bagi masyarakat Yogyakarta, keistimewaan bukan saja memberikan hak privilige atas keturunan raja, melainkan memberikan keistimewaan bagi masyarakat Yogyakarta atas peranannya dalam masa kemerdekaan NKRI," kata Sultan

Ia pun menegaskan, melihat realita dan dinamika rakyat DIY yang sebagian besar menginginkan seperti yang selama ini terjadi harus juga diakui, dan Keistimewaan DIY sudah diatur dalam Pasal 18 B UUD 45.

"Maka, apa yang telah berjalan dalam pengisian gubernur DIY selama ini sudah berjalan demokratis. Karena itu, tidaklah berlebih jika keistimewaan DIY masih layak diterima tidak saja sebagai penghormatan yuridis, filosofis maupun sosiologis," kata Sultan.

Ia juga menjelaskan bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka terdapat setidaknya 250 masyarakat hukum adat yang sudah ada. Dua diantaranya, menurut Sultan HB X, adalah masyarakat hukum adat Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman.

Untuk Kasultanan Ngayogyakarta dan Pakualaman, katanya, bahkan sudah diakui oleh Ratu Belanda, Wilhemina, sebagai sebuah negari merdeka yang secara hukum internasional, sama sebagai negara merdeka seperti negara di dunia lain. Oleh karena itu, ia mengemukakan, saat Republik Indonesia Serikat (RIS), Belanda tidak bisa masuk ke Ngayogyakarta dan Pakualaman yang harus dihormati sebagai negara sendiri.

"`Karena itu, ketika terjadi penjajahan di Indonesia, Belanda tidak masuk ke Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman karena dihormati sebagai negari berdaulat," kata Sultan.

Sultan HB X menambahkan, keistimewaan DIY harus dipahami secara utuh untuk memahami simbol-simbol yang ada.
(J004/E001)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011