Moammar Gaddafi telah kehilangan legitimasi untuk memimpin dan harus mundur"
Washington (ANTARA News) - Pemimpin Libya Moammar Gaddafi telah kehilangan legitimasi dan harus mengundurkan diri, demikian ditegaskan Presiden AS Barack Obama.

"AS dan seluruh dunia marah atas kekerasan mengerikan yang terjadi kepada rakyat Libya," kata Obama pada jumpa pers di Gedung Putih seperti dikutip AFP.

"Kami akan terus mengirim pesan tegas: Kekerasan harus berhenti. Moammar Gaddafi telah kehilangan legitimasi untuk memimpin dan harus mundur," katanya.

Pesawat tempur Libya menyerang kota Brega, Kamis, sementara tentara pemberontak yang mempertahankan kota strategis di wilayah timur itu bersiaga dengan senapan mesin di truk pikup setelah dua bom jatuh di dekat kilang minyak setempat.

Serangan itu menyulut kekhawatiran mengenai upaya baru pasukan yang setia pada rejim Gaddafi untuk merebut kembali pelabuhan utama yang terletak 200 kilometer sebelah baratdaya Benghazi itu.

Obama juga mengatakan, ia telah mengizinkan penggunaan pesawat militer AS untuk membawa pengungsi Mesir yang meninggalkan Libya ke Tunisia.

AS membantu "memimpin upaya internasional untuk mencegah kekerasan lebih lanjut" dan berusaha secara cepat menanggapi krisis kemanusiaan yang berkembang, kata Obama.

"Mereka yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Libya akan diminta pertanggungjawabannya. Dan aspirasi rakyat Libya bagi kebebasan, demokrasi dan martabat harus dipenuhi," tambah presiden AS itu.

Pernyataan Obama itu disampaikan ketika kekerasan terus berlanjut di Libya di mana ada laporan-laporan yang menyebut serangan udara oleh pasukan Gaddafi.

Hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas dari kendali Gaddafi sejak pemberontakan rakyat meletus di kota pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Meski demikian, Gaddafi bersikeras akan tetap berkuasa.

Ratusan orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan itu.

Gaddafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa.

Aktivis prodemokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.(*)

SYS/C/M014

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011