Jakarta (ANTARA News) - Anggota Senat ITS Surabaya Prof Djauhar Manfaat merasa kecewa dengan DPR yang tidak merespon kerisauan kalangan universitas terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 24/2010.

Dalam rapat kerja antara Mendiknas dengan Komisi X DPR, ujarnya kepada pers di Jakarta, Minggu, masalah Permendiknas 24/2010 ini dianggap "angin lalu" karena tidak dimasukkan dalam kesimpulan rapat.

"Terus terang, saya pribadi kecewa. Namun demikian, kami masih berharap DPR masih bisa memperjuangkan aspirasi rakyat. Bahwa Permendiknas 24/2010 ini merupakan bentuk intervensi, tidak bisa dibantah. Ini masalah nasional dan bukan hanya terjadi di ITS," tegasnya.

Permendiknas 24/2010 yang menetapkan adanya 35 persen suara menteri dalam pemilihan rektor, ternyata kurang mendapat respon DPR karena masalah ini dianggap hanyalah sektoral.

Secara terpisah, anggota Komisi X dari F-PDIP, Tb Dedi Gumelar, mengakui bahwa pendukung Permendiknas 24/2010 itu sangat kuat.

"Dalam rapat kerja dengan Mendiknas (Rabu, 2/3), kesimpulan soal Permendiknas itu dihapus karena pendukungnya lebih banyak. Saya dan beberapa teman, sudah perjuangkan. Namun kandas juga," tegasnya.

Dikatakan Mi`ing (sebutan akrab Dedi Gumelar), Permendiknas 24/2010 sebaiknya dicabut dan selanjutnya dikembalilan kepada aturan sebelumnya yang tidak mengundang kegaduhan.

"Seharusnya pemilihan rektor murni dari kampus dan diserahkan kepada aspirasi kampus. Yang tahu pemimpin terbaik kan kampus juga," tegasnya.

Kisruh atas keberadaan Permendiknas 24/2010, tidak hanya terjadi di ITS tetapi juga di UNS, Solo. Di UNS aturan ini menelan korban pula setelah salah satu kandidat yang terpilih di Senat UNS sebanyak 55 persen, Prof M Furqon Hidayatullah, dikalahkan Permendiknas tersebut.

"Dalam penjaringan senat, saya mendapat 55 persen suara. Sedangkan 45 persen, terbagi ke 9 kandidat lainnya. Namun adanya Permendiknas tersebut, aspirasi kampus dikalahkan," tuturnya.

Implementasi permendiknas 24/2010, dinilainya, berdampak negatif karena tidak mempertimbangkan aspirasi kampus. Selain itu, peraturan tersebut justru mematikan otonomi serta demokrasi di kampus.

"Calon yang potensial, juga akan takut untuk maju (sebagai rektor) karena akan kalah dengan calon yang punya kedekatan dengan menteri," paparnya.

Dikatakannya bahwa Permendiknas 24/2010, sangatlah bertentangan dengan semangat demokrasi. "Kalau mendiknas bisa punya hak suara 35 persen, harusnya mendagri punya juga hak suara dalam pilkada. Jadi ini kan bisa kacau," tukasnya.

Sementara itu mantan rektor UI, Prof Subur Budisantoso mengatakan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan masalah ini. Dirinya meyakini dampaknya akan mengundang kekisruhan di kampus lain.

"Sebaiknya, menteri duduk bersama, bicara dan cari solusinya. Kalau tidak, kekisruhan bakal meluas. Ini semua karena suara 35 persen yang di `declare`. Karena ingin disebut demokratis akhirnya menuai masalah, " tuturnya. (*)

(T.D011/D009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011