Jakarta (ANTARA News) - Cukup dengan sebuah pidato, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan spekulasi soal reshuffle dan koalisi.

Keributan soal reshuffle dan koalisi terjawab sudah. Tidak ada reshuffle dan tidak ada yang meninggalkan koalisi. Dengan tegas Presiden menyatakan tidak ingin dipaksa-paksa untuk melakukan perombakan kabinet.

"Menurut saya ada yang kurang logis karena sampai seolah-olah saya diharuskan dan didikte untuk segera lakukan reshuffle dan kemudian apa yang saya dengarkan (ada pendapat-red) mengapa lambat, ini ganjil, karena reshuffle itu bukan tujuan, reshuffle itu sarana," kata Presiden dalam sidang kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (10/3).

Pidato Presiden yang mengakhiri spekulasi tersebut berselang sembilan hari seusai sebuah pidato yang mendorong berkembangnya spekulasi.

Pidato presiden pada Selasa, 1 Maret 2011 yang digelar di kantornya ditangkap sebagai sinyal adanya perombakan koalisi. Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono mengatakan perlunya sanksi bagi partai politik yang melanggar komitmen.

"Jika tidak, ke depan tentu sanksi harus diberikan. Dalam penataan kembali koalisi yang Insya Allah akan kami lakukan dalam waktu dekat ini, jika memang ada partai politik tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuatnya bersama-sama saya dulu, tentu partai politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi," katanya pada saat itu .

Sinyal juga dibuat Presiden dengan mengungkapkan adanya partai politik yang dinilai telah melanggar kesepakatan koalisi.

"Dari evaluasi yang saya lakukan, saya menilai, ini juga dijustifikasi, atau dikonfirmasi oleh pandangan umum dari teman-teman di pemerintahan, bahwa ada sejumlah kesepakatan yang tidak ditaati, atau dilanggar oleh satu dua partai politik. Kesepakatan itu sesungguhnya terdiri dari 11 butir. Pada saatnya kalau memang diperlukan akan saya jelaskan kepada publik supaya semuanya terang apa sebenarnya substansi dari kesepakatan itu," kata Presiden Yudhoyono.

Meski Presiden tidak menyebut nama, satu-dua partai politik itu diidentikan dengan Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kedua partai politik tersebut telah dianggap berkhianat dari koalisi dengan mendukung hak-angket Mafia Pajak yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi dan bermuatan politik.

Para kolega koalisinya, Partai Demokrat, PAN, PPP dan PKB menilai keduanya telah melenceng dan perlu diberi sangsi.

Sinyal Presiden dalam pidato 1 Maret 2010 ditangkap hampir senada oleh banyak kalangan, `akan ada reshuffle dan ada partai yang dikeluarkan dari koalisi`.

Para elit Partai Demokrat juga memberikan sinyalemen kuat akan adanya reshuffle dan penataan ulang koalisi dalam pernyataan Presiden 1 Maret tersebut.

Partai Demokrat melakukan gerilya mendekati PDIP dan Gerindra. Bahkan Ketua Departemen Keuangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Muhammad Ikhsan Modjo dalam konferensi pers mengatakan Partai Demokrat menawarkan tiga kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II kepada kader PDI Perjuangan jika partai politik tersebut bergabung dalam koalisi partai politik pendukung pemerintah.

Tak hanya partai politik, para pengamat juga menerima sinyal tersebut akan ada tata ulang koalisi. Sementara kalangan istana sendiri tidak pernah membantah akan adanya isu reshuffle dan tata ulang koalisi tersebut.

Akibatnya, para pemburu berita pun harus berjibaku untuk mengejar Presiden, untuk mengetahui informasi reshuffle. Kemanapun Presiden Yudhoyono pergi, para wartawan terus membuntutinya.

Para jurnalis selalu memperhatikan mobil siapa yang datang ke Kantor Presiden atau ke rumah Presiden. Bahkan berburu berita hingga ke Istana Cipanas dimana Presiden Yudhoyono dan keluarganya sedang berlibur.


Kegagalan Lobi Politik

Apa di balik melunaknya Presiden SBY terhadap koalisi yang dinilai `mbalelo`?

Kegagalan meraih dukungan yang maksimal dari partai non koalisi untuk diajak bergabung tampaknya menjadi salah satu alasan melunaknya pidato Presiden Yudhoyono.

"Presiden pusing tidak bisa menemukan komposisi yang baru kalau mengganti mengeluarkan Golkar dan PKS, karena tuntutan Demokrat itu satu paket, tapi itu ga bisa, PDI-P gagal digaet dan Gerindra mintanya terlalu tinggi," kata Pengamat Cetre for Strategic and International Studies Nico Hardjanto.

Selain itu, berlarut-larutnya pembicaraan soal koalisi membuat Presiden kehabisan waktu dalam menghadapi isu-isu kedepan yang lebih kompleks. Sedangkan dukungan parlemen yang kuat diperlukan untuk menghadapi berbagai isu ke depan seperti kenaikan harga BBM.

"Ketiga karena ini merupakan salah satu kelemahan kepemimpinan SBY, yang memang sulit menentukan dengan cepat dan tegas," katanya.

Hal senada diungkapkan oleh Pengamat Politik Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi. "Pidato yang terakhir sengaja disampaikan Pak SBY karena kekhawatiran hubungan yang makin meruncing dengan Golkar dan PKS, dimana ke depan banyak antisipasi terkait banyaknya isu yang muncul terutama BBM dan masslah ketahanan pangan," katanya.

Ia menambahkan, Presiden khawatir mendapatkan serangan tajam dari DPR mengenai dua isu tersebut dimana kemungkinan kebijakan yang tidak populis diambil.

"SBY pada akhirnya memakai pendekatan koalisi yang minimal, yaitu mempertahnakan postur gemuk koalisi, dan hanya sekedar memperbaiki nota kesepakatan yang tidak multitafsir," katanya.

Pengamat Charta Politika Yunarto Wijaya sependapat bila kegagalan lobi-lobi politik membuat Presiden melunakan pandangannya.

Ia menyanyangkan pidato Presiden yang melemparkan isu koalisi terlebih dahulu tanpa adanya kesepakatan sebelumnya.

"Seharusnya pidato presiden itu final, artinya sudah ada kesepakatan dulu, negosiasi dulu, ada kesimpulan baru diumumkan, sehingga Presiden tidak perlu membuat pidato kedua yang lebih lunak dan menjadi blunder," katanya.


Tak Selesaikan Masalah

Meski Pidato Presiden Yudhoyono tersebut meredam isu panas reshuffle dan koalisi, namun tidak menyelesaikan masalah.

Nico Hardjanto mengatakan, ini menjadi pengalaman berharga bagi partai-partai politik terutama partai koalisi. "Mereka ternyata cukup punya keleluasaan untuk bergerak mendukung atau menghantam pemerintah, tidak ada sanksi tegas," katanya.

Ia menambahkan, mendekati 2014, semua partai akan pragmatis kecuali Demokrat dan PDIP yang telah terikat dengan posisinya.

"Jadi gonjang-ganjing politik pasti semakin liar," katanya.

Menurut Burhanuddin, pidato terakhir SBY menjadi blunder terutama bagi Partai Demokrat. "Karena mereka dipermalukan dan bisa ditafsirkan tidak dipercaya SBY, seolah-olah percaya Golkar dan PKS, ini membuat demoralisasi, begitu pula dengan partai-partai koalisi lainnya yang menuntut evaluasi," katanya.

Ia juga mengemukakan, kesepakatan baru SBY dan partai-partai politik terutama PKS dan Golkar tidak akan membuat keduanya tunduk untuk mendukung terus pemerintah.

"Justru ini menguatkan kepercayaan Golkar dan PKS melakukan manuver, di saat yang sama bukan tidak mungkin partai lain meniru langkah PKS dan Golkar," katanya. (M041/K004)

Oleh Oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011