Dari sisi sumber daya manusia kita lemah, penanganan bencana Merapi, Aceh, menjadi bahwa bukti kita belum sanggup
Jakarta (ANTARA News) - Gempa yang melanda Jepang 11 maret 2011 lalu memicu terjadinya ledakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir di negara tersebut.

Seiring kekhawatiran radiasi nuklir, kampanye menolak PLTN di Indonesia seolah mendapat momentum. LSM pecinta lingkungan Green Peace pun menggelar diskusi di Jakarta untuk mengkampanyekan gerakan anti PLTN Indonesia.

"Apa sih motif para promotor PLTN itu sampai gemar mempromosikan pembangunan PLTN? Filipina dan Swiss saja menolak dan mengkaji ulang rencananya," kata Nur Hidayati, country representative  Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dalam diskusi Gerakan anti-PLTN Indonesia di Jakarta, Rabu.

Menurut Hidayati, PLTN yang ada di dunia  ebanyakan dibangun pada era sebelum tahun 80-an dengan faktor gempa tak melebihi skala 7.

"Sekarang kondisinya sudah berubah bahkan gempa Aceh saja sampai 9.1 SR dan Jepang 9.0 SR," katanya.

Dia mengemukakan  PLTN bukan masalah reaktor dan teknologi saja tapi ada persoalan  politik, ekonomi, dan sosial.

"Semua hal itu Indonesia bobrok, saya tidak habis pikir keantusiasan Badan Tenaga Atom Nasional yang ingin membangun PLTN," katanya.

Hidayati melanjutkan, PLTN punya masa berlaku maksimal 40 tahun, teknologi yang pada masanya sempurna akan usang. "Hal ini tak pernah dipikirkan oleh BATAN, soal pembongkaran dan monitoring selama ratusan tahun.Apakah layak kita mendapatkan benefit listrik selama 50 tahun tapi harus melakukan monitoring selama ratusan tahun." ungkapnya.

Dia juga menilai bohong besar atas pernyataan bahwa  PLTN menjadikan Indinesia lebih berdaulat.

"Kita hanya akan membeli teknologi dan tak mendapat aspek alih teknologi," katanya.

Pendapat serupa  disampaikan oleh Iwan Kurniawan Doktor Fisika Nuklir Ekperimen, Lulusan Universitas Tsukuba Jepang.

Dia  mengatakan teknologi nuklir tak pernah berhenti, mulai dari generasi 1,2,3 dan 4.

"PLTN Fukushima itu generasi 2 dan Indonesia melalui BATAN menawarkan PLTN generasi 4," katanya.

"Dosis normal radiasi yaitu 100 Milli Sieverts per tahun bagi pekerja yang ada PLTN dan di Jepang Radiasi dari ledakan bisa mencapai 400 Milli Sieverts sejam atau sama dengan orang yang bekerja di PLTN delapan tahun," katanya

Mengenai ledakan di PLTN Jepang, dia memperkirakan gempa mempengaruhi bahan bakar di dalam reaktor dan mengganggu bahan bakar.

"Dugaan saya ini bocor dan dalam kondisi ini orang yang disiplin dan berpendidikan tinggi seperti Jepang saja tidak mampu kalau hal ini diadopsi indonesia maka akan sangat berbahaya," katanya.

"Tsunami menghancurkan genset, gempa menghancurkan sistem reaktor teknologi dan Jepang tak mampu menanggulangi bencana alam."

Iwan menilai, dari sisi kegempaan PLTN di Indonesia termasuk rawan dan biaya yang akan dikeluarkan sangat mahal.

"Dari sisi sumber daya manusia kita lemah, penanganan bencana Merapi, Aceh,  menjadi bahwa bukti kita belum sanggup."

"Kalau terjadi di Indonesia dampaknya 3 kali Chernobyl. Jepang punya teknologi yang luar biasa tapi tetap tak  bisa atasi Fukushima, sedangkan yang ada di pikiran orang Indonesia  adalah membeli teknologi, bukan menciptakan teknologi."

"Indonesia tak pernah mengembangkan apapun dalam teknologi PLTN, mahalnya teknologi pltn ini menjadi tanggung jawab rakyat inilah yang selalu saya kritisi," kata Iwan.
(yud/A038)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011