London (ANTARA News/AFP) - Angkatan Udara Libya hampir hancur sepenuhnya akibat serangan-serangan udara koalisi internasional dan "tidak lagi menjadi kekuatan tempur", kata seorang perwira tinggi militer Inggris, Rabu.

Marsekal Madya Greg Bagwell mengatakan kepada media Inggris di sebuah pangkalan udara di Italia selatan, yang menjadi tempat peluncuran operasi pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Inggris (RAF), pasukan darat Libya kini menjadi sasaran serangan ketika mereka mengancam warga sipil.

"Angkatan udara mereka tidak lagi menjadi kekuatan tempur," kata Bagwell, seperti dikutip pers setelah pertemuan dengan para pilot RAF yang beroperasi dari pangkalan Gioia del Colle.

"Dan sistem pertahanan udara terpadu serta jaringan pengawas (pemimpin Libya Moamer Kadhafi) berkurang banyak hingga ke titik yang membuat kami bisa beroperasi di wilayah udaranya dengan bebas," katanya.

Inggris mengerahkan jet-jet Tornado dan Typhoon, yang beroperasi bersama pesawat-pesawat tempur AS dan Prancis untuk menegakkan zona larangan terbang sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melindungi penduduk sipil.

Bagwell menyatakan, pasukan AS, Inggris dan Prancis yang terlibat dalam serangan-serangan yang dimulai Sabtu itu telah membuat Kadhafi tidak mengetahui banyak hal dan "menghancurkan sebagian besar angkatan udaranya".

Jet-jet RAF tetap aman selama operasi di Libya, kata Bagwell, dengan menambahkan, "Saya tidak tahu apa yang ditembakinya namun ia tidak bisa mengenai kami."

Pesawat-pesawat tempur kuno Kadhafi yang dibuat oleh eks-Uni Sovyet dan Prancis telah menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil dan pasukan oposisi sejak pemberontakan meletus pada pertengahan Februari.

Libya kini digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada Kamis lalu.

Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Kadhafi, yang membuat marah Barat.

Selama beberapa waktu hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas dari kendali Kadhafi setelah pemberontakan rakyat meletus di kota pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Namun, kini pasukan Kadhafi dikabarkan telah berhasil menguasai lagi daerah-daerah tersebut.

Ratusan orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan itu.

Kadhafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa. Kadhafi bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.(*)

(Uu.M014)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011