Jakarta (ANTARA News) - Salah satu penanda hubungan kerja sama antarnegara ASEAN adalah sektor tenaga kerja. Namun sayang, penggunaan istilah "kerja sama" tidak selalu berujung pada cerita gembira.

Sebaliknya, cerita pedih yang menimpa pekerja migranlah yang justru lebih banyak muncul ke permukaan. Dan pekerja rumah tangga (PRT) adalah paling sering merasakan penderitaan itu.

Sejumlah kalangan menilai permasalahan itu terjadi karena PRT belum diakui sebagai tenaga kerja formal.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang berkepentingan besar dalam sektor tenaga kerja, apalagi kawasan ini menjadi salah satu tujuan pengiriman tenaga kerja asal Indonesia.

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), penempatan TKI di wilayah Asia Pasifik untuk 2010 antara lain berpusat di tiga negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia sebanyak 116.056 TKI, Singapura menerima 39.623 TKI, dan Brunei Darussalam menerima 7.360 TKI.

Menurut data tersebut, tidak ada penempatan tenaga kerja di Filipina, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Thailand.

Di ASEAN, Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang paling banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri.

Dari fakta ini, sejumlah pihak mendesak para pemimpin ASEAN untuk memikirkan sektor tenaga kerja, khususnya peningkatan status PRT menjadi tenaga kerja formal.

Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) adalah salah satu kelompok yang teguh memperjuangkan nasib para pekerja rumah tangga.

Kelompok ini menginginkan draf RUU Pekerja Rumah Tangga yang sedang dibahas pemerintah bisa menyamakan pekerja rumah tangga dengan pekerjaan formal lainnya, untuk mencegah eksploitasi.

"Draf RUU PRT harus menghapus segala pandangan (bahwa pekerjaan PRT-red) di luar hubungan kerja formal," kata Wakil Ketua IMWU, Sringatin.

Menurut dia, pandangan bahwa PRT bukan termasuk kerja formal sama sekali mengabaikan prinsip universal bahwa 'setiap orang yang menjual tenaganya untuk mendapatkan upah adalah pekerja.'

IMWU juga menghendaki draf RUU PRT menyebutkan pengaturan jam kerja, kontrak kerja, serta hal berserikat. "Standar internasional tentang jam kerja adalah delapan jam kerja, di luar itu harus di hitung lembur, demikian pula dengan perjanjian kerja dan pengakuan hak berserikat," katanya.

Senada dengan IMWU, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mendesak negara-negara ASEAN mengadopsi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang pekerjaan layak bagi pekerja rumah tangga.

"Kami mendesak anggota ASEAN mengadopsi konvensi ILO yang hendak disidangkan di Jenewa pada Juni 2011 ini. Tidak ada alasan untuk menolak," kata aktivis JALA PRT, Ari Sunarjati.

Berdasarkan data JALA PRT, 83 persen dari pekerja migran adalah PRT dan saat ini hanya dua negara, yakni Filipina dan Thailand, yang menyetujui konvensi ILO itu.

Sementara itu, Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat berharap, KTT ke-18 ASEAN menjadi momentum bagi negara-negara anggota ASEAN untuk membuka diri dengan menyerap tenaga kerja migran, termasuk dari Indonesia.

Dia meyakinkan, Indonesia memiliki banyak tenaga kerja terampil dan profesional yang siap mengisi pasar tenaga kerja ASEAN.

Jumhur melihat salah satu kendala yang dihadapi saat ini adalah tidak semua negara-negara ASEAN mau membuka diri. Beberapa negara terlalu tertutup sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja formal dari Indonesia.

Komitmen ASEAN

ASEAN memang belum secara khusus membahas status PRT sebagai tenaga kerja formal. Namun, asosiasi negara-negara di Asia Tenggara itu telah berkomitmen melindungi nasib para pencari kerja supaya tidak terjebak dalam bisnis perdagangan manusia atau "human trafficking".

Hal itu paling tidak terwujud dalam sikap Konfederaasi Organisasi Perempuan ASEAN ("ASEAN Confederation of Women`s Organization/ACWO"), sebuah lembaga yang terafiliasi dengan ASEAN.

Perlindungan dari praktik perdagangan manusia itu diserukan langsung oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono saat membuka pertemuan organisasi itu di Istana Negara.

 "Perlu gerakan perempuan negara-negara ASEAN agar `human trafficking` bisa dihilangkan," katanya.

Menurut Ani, Asia Tenggara sangatlah luas. Negara-negara di kawasan itu saling berbatasan sehingga memungkinkan kontak antarnegara yang sangat intensif.

Ani melihat masih ada kemungkinan untuk timbulnya sejumlah kejahatan, khususnya perdagangan manusia di wilayah perbatasan.

Oleh karena itu, perempuan ASEAN yang tergabung dalam ACWO harus benar-benar mendukung gerakan pemberantasan perdagangan manusia.

Hal itu sangat masuk akal karena ACWO adalah organisasi resmi yang menempatkan pemberantasan perdagangan manusia sebagai salah satu program utama, selain pemeliharaan lingkungan hidup dan pemberdayaan ekonomi perempuan.

Kebijakan organisasi itu juga selaras dengan komitmen para pemimpin ASEAN pada 29 November 2004 di Laos, memberantas perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. (*)

M040*B009*F008/Z002

Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011