Jakarta (ANTARA News) - Ketua Departemen Luar Negeri DPP Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menyatakan, sikap membanding-bandingkan para pemimpin adalah perbuatan tabu atau terlarang.

Hal itu dikatakan oleh Nurhayati menanggapi hasil survei Indobarometer soal kerinduan masyarakat terhadap Soeharto dan pasca 13 tahun reformasi.

"Saya pribadi, tabu membanding-bandingkan pemimpin. Itu tidak baik," kata Nurhayati di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, selain tabu membanding-banding para pemimpin di negeri ini, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan bagi lembaga survei saat melakukan survei.

Pertama, soal zaman atau waktu. Setiap Presiden RI memimpin, pasti dipengaruhi oleh zaman dan setiap zaman tersebut tentunya tidak akan sama antara satu presiden dengan presiden lainnya.

Kedua, kata Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen itu, lamanya memerintah juga mempengaruhi sebuah kepemimpinan.

Ketiga, karakter masing-masing orang dalam  memimpin tentunya sangat berpengaruh bagi yang dipimpinnya.

"Jadi ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi sebuah kepimpinan. Jangan disamaratakan saja. Tantangan setiap pemimpin itu berbeda-beda," kata Nurhayati.

Kalaupun mau membanding, tambahnya, harus dilakukan secara objektif dan transparan. Misalnya membandungkan Soeharto memerintah pada masa awal pemerintahannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintah diawal kepemimpinannya.

"Kalau tetap mau membandingkan, harus objektif lah," katanya.

Ia menambahkan, justru di masa pemerintahan SBY inilah carut marut bangsa ini bisa diperbaiki seperti reformasi, politik dan demokrasi berjalan baik.

"Dengan hasil survei Indobarometer yang menyebutkan masyarakat merindukan Suharto yang berkuasa 32 tahun hanya 36,54 persen dan SBY yang hanya 6,5 tahun memerintah mendapat 20,9 persen. Kalau SBY, misalnya 32 tahun berkuasa, tentunya saya kira masyarakat lebih merindukan SBY dibanding Soeharto," ujar dia.

Ia menambahkan, kalaupun Soeharto tetap dirindukan dan memiliki kinerja baik, tentunya masyarakat Indonesia tidak ingin menjatuhkan atau melengserkannya.

"Kalau memang Suharto baik dan dirindukan, kenapa kita menjatuhkan beliau. Jadi kita harus belajar dari sejarah," kata Nurhayati.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari merilis hasil surveinya. Hasilnya adalah menemukan Soeharto lebih populer di mata rakyat dibanding dengan presiden-presiden sesudahnya.

Dari survei yang melibatkan 1.200 orang itu, 36,54 persen responden dari seluruh Indonesia memilih Soeharto, lalu Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 20,9 persen, Soekarno dengan 9,8 persen, Megawati dengan 9,2 persen, B.J. Habibie dengan 4,4 persen, dan Abdurrahman Wahid dengan 4,4 persen. (*)
(Zul/R009)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011