Surabaya (ANTARA News) - Sebanyak 17 seniman "drawing" (menggambar dengan pensil, tinta, pensil warna, bollpoint, rapido, spidol, aquarel) menggelar pameran bertajuk "Surabaya di Mataku" di Galeri Seni Museum "HoS" Sampoerna Surabaya pada 20 Mei - 5 Juni.

"Kami ingin tahu pandangan atau opini seniman drawing tentang Surabaya pada HUT ke-718 Surabaya, sekaligus kami ingin mengenalkan seni drawing yang belum banyak dikenal masyarakat," kata Manajer Museum `HoS` Sampoerna Surabaya, Rani Anggraini, di sela-sela persiapan pameran, Rabu.

Pameran yang didominasi gambar "hitam-putih" itu menyajikan 20 karya "drawing" antara lain "Dilematis Budaya" yang menceritakan benda budaya yang berserakan dan diikat dengan tali.

"Itu opini saya bahwa di Surabaya, benda pusaka seperti keris yang dibuat oleh para empu sudah seperti tidak ada gunanya, karena dibiarkan berserakan dan bahkan dijual di pasar loak, sehingga nilai sejarah dari budaya itu seperti hilang," kata seniman drawing, Dodik Subagyo.

Selain itu, ia juga menyajikan karya berjudul "Ketidakberdayaan Hidup" yang menggambarkan seorang perempuan yang keringatnya bercucuran dan menetes ke bawah ditangkap anak-anaknya.

"Perempuan Surabaya itu memeras keringat untuk membeli susu atau menghidupi anak-anaknya. Dia bekerja keras dan malam harinya pun masih menjadi kupu-kupu malam. Semua itu demi anak-anaknya. Itulah ketidakberdayaan hidup perempuan kota," kata Dodik Subagyo.

Lain halnya dengan seniman drawing lainnya, seperti Sarko dengan "Kota Desa" atau "Pasar Pabean" karya Heru Budianto, sedangkan Arifin Yasonas menampilkan karya drawing berjudul "Pola Uripe Arek Suroboyo." Masyarakat dapat membeli gambar mereka dengan harga antara Rp2 juta hingga Rp20 juta.

"Pasar Pabean yang saya gambar itu saya unduh dari internet pada kondisi tahun 1907, tapi saya beri sentuhan benda modern. Saya ingin mengatakan bahwa dalam modernisasi, kita harus tetap menjaga bangunan kuno," kata Heru Budianto.

Seniman drawing lainnya yang berpartisipasi adalah Zulkarnain, Hudi Alfa, Lutfi, Budi Bahagia, Siswantoro, Achmad Nazilie, Dian Alfarizi, Heri Wijayanto, Sovi Siviani, Taufik Prawoto, A Chusnan, Machfudz Sae, dan Sujarwo.

"Komunitas seniman drawing sendiri tidak banyak, karena mereka yang asli Surabaya tidak sampai 10 orang, seperti saya, Sarko, Chusnan, dan sebagainya," kata Dodik Subagyo yang mengaku sudah melukis sejak tahun 2001 dan mulai konsisten di jalur drawing sejak tahun 2008.

Menurut dia, masyarakat masih sering salah mengerti dengan menyamakan lukisan sketsa wajah dengan drawing, padahal drawing itu lebih cenderung kepada garis-garis dan dibuat dengan pensil, tinta, pensil warna, bollpoint, rapido, dan sejenisnya.

"Secara akademis, drawing adalah pola menggambar dengan meniru alam apa adanya melalui garis-garis. Untuk lebih memasyarakatkan seni drawing, kami harapkan peran serta Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata," katanya.(*)

(T.E011/S025)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011