Jakarta (ANTARA) - Menutup tahun 2021 bukan selalu berarti seluruh pekerjaan rumah berhasil terselesaikan dengan tuntas. Bangsa ini misalnya masih berkutat dengan pekerjaan rumah lanjutan berupa penanganan stunting dan risiko penurunan kualitas sumber daya manusia.

Bonus demografi yang kelak akan diterima jika tak dikelola dengan baik justru berpotensi menjadi ancaman tersendiri. Sebab masalah stunting dan gizi buruk belum sepenuhnya teratasi dengan baik.

Pandemi COVID-19 disadari atau tidak memperburuk prevalensi stunting di tanah air, menjadikan Indonesia dalam ancaman penurunan kualitas sumber daya manusia dalam beberapa generasi ke depan.

Stunting merupakan masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang, sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.

Di sejumlah daerah, di Cirebon, Jawa Barat misalnya angka kejadian stunting, atau kasus gagal tumbuh akibat gizi buruk kronis, berada di bawah angka rata-rata nasional sekitar 27 persen, yakni 13 persen. Meskipun, sejumlah kelurahan termasuk Karyamulya masih memiliki angka stunting di atas angka rata-rata Kota Cirebon.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, menekankan pentingnya penguatan daerah untuk membantu menuntaskan masalah stunting, atau gizi buruk, di Indonesia.

Memperingati Hari Ibu pada 22 Desember 2021, sejumlah pihak pun didorong untuk meningkatkan kepeduliannya terhadap persoalan ini.

Menyikapi persoalan stunting, dikatakan Bintang, banyak faktor penyebab yang perlu mendapatkan penanganan dan intervensi dari berbagai pihak terkait.

Menurut Bintang, selain memperhatikan asupan bayi sejak 1000 hari pertama kehidupan, penting juga mengingatkan dukungan pola pengasuhan yang setara, pencegahan perkawinan anak, maupun kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Bintang Puspayoga menegaskan pos pelayanan terpadu (posyandu) salah satunya merupakan tonggak pencegahan stunting.

Posyandu, kata dia, menjadi tempat layanan yang dapat mengintervensi kesehatan ibu hamil hingga melahirkan sehingga penting untuk diperkuat dalam upaya pencegahan stunting.

Selain itu, sinergi dengan banyak pihak akan mendorong penanganan stunting menjadi kian mudah.

Baca juga: Perlu fokus capai bonus demografi yang hanya terjadi sebentar

Baca juga: Gelora semangat BKKBN, si garda terdepan wujudkan bangsa berkualitas


Lembaga Sosial

Sejumlah lembaga sosial juga sudah memberikan perhatian terhadap persoalan stunting di sejumlah daerah.

HaloPuan, lembaga sosial yang diinisiasi politisi PDI Perjuangan Puan Maharani, misalnya, menggelar Gerakan Melawan Stunting di “Kota Udang” Cirebon dan secara khusus melakukan kegiatan ini di Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi.

Dengan bergotong royong bersama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Karyamulya dan DPC PDI Perjuangan Kota Cirebon, kegiatan ini diikuti oleh sekitar 150 warga, yang terdiri dari calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, dan kader-kader posyandu se-Karyamulya. Mereka adalah elemen masyarakat yang menjadi garda terdepan dalam melawan stunting.

Relawan HaloPuan, Poppy Astari, mengatakan pihaknya menaruh perhatian besar terhadap persoalan stunting karena melawan stunting merupakan tanggung jawab semua pihak.

Banyak yang belum memahami bahwa periode 1000 hari pertama kehidupan, yakni 9 bulan masa kehamilan dan 2 tahun masa pertumbuhan anak, adalah masa yang sangat penting. Pada masa inilah terjadi perkembangan otak yang sangat pesat. Jika melewati periode ini, anak stunting akan sulit diperbaiki.

Stunting harus menjadi perhatian banyak pihak karena stunting tak hanya menyangkut tinggi-pendek tubuh seorang anak tapi juga berdampak besar pada perkembangan otak anak. Jika tak dilawan sejak awal, stunting akan mempengaruhi kemampuan anak belajar di sekolah dan bekerja saat dewasa nanti.

Faktanya anak-anak inilah yang 24 tahun mendatang akan menjadi populasi usia produktif. Alhasil, cita-cita Indonesia Emas 2045, di mana Indonesia akan memperoleh bonus demografi, bisa gagal jika kita tak segera melawan stunting sejak sekarang.

Penanganan Inovatif

Sementara itu, Anggota DPR RI Dapil Jabar VIII, Ono Surono mengatakan nasib bangsa di masa depan ada di tangan kaum muda. Karena itu, pendidikan dan sosialisasi pencegahan stunting amat penting bagi kaum muda.

Oleh karena itu, pendidikan gizi dan stunting merupakan kewajiban bagi anak-anak remaja calon pengantin agar mempersiapkan diri dengan asupan gizi seimbang dan pengetahuan terkait pola asuh.

Penanganan stunting yang masif juga diperlukan dengan berbagai intervensi yang inovatif. Salah satunya dengan membawa gagasan memanfaatkan bubuk daun kelor sebagai salah satu makanan tambahan super bagi balita dan kaum ibu.

Masyarakat di kawasan atau kantong-kantong rentan kasus stunting perlu untuk diedukasi untuk mulai menanam dan memanfaatkan kelor sebagai tanaman yang diketahui sebagai superfood dan bergizi sangat tinggi.

Bahkan badan kesehatan dunia WHO telah merekomendasikan bubuk daun kelor sebagai asupan super untuk mengatasi malnutrisi di seluruh dunia karena kandungan mikronutrisinya yang kaya.

Kelor juga tanaman yang mudah tumbuh di tanah Nusantara. Berdasarkan berbagai penelitian, bubuk daun kelor sudah terbukti mampu menyeimbangkan gizi di dalam tubuh manusia.

Di Flores Timur, misalnya, Bupati Antonius Hadjon, berhasil menurunkan angka stunting dari 40 persen hingga 20 persen dengan menjadikan bubuk daun kelor sebagai asupan tambahan di posyandu-posyandu.

Maka memang ke depan, intervensi yang inovatif dan masif menjadi salah satu kunci yang efektif untuk menuntaskan pekerjaan rumah mengatasi stunting yang menghantui generasi penerus bangsa ini.

Sebab dengan cara-cara inilah, Indonesia bisa menekan angka stunting sampai ke level serendah-rendahnya.

Baca juga: Tim UGM kembangkan alat deteksi dini stunting

Baca juga: Legislator: Petakan penanganan kasus stunting di Kota Surabaya

Baca juga: Pahami miskonsepsi stunting agar tak keliru saat beri nutrisi balita

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021