Apakah cara pemasaran dengan mengirim peti mati merupakan cara berkomunikasi? Tidak, karena cara itu menistakan inti komunikasi yakni konsensus...yang menghormati nilai kebenaran, ketepatan dan kejujuran
Jakarta (ANTARA News) - Mulanya, ingin mendulang promosi lewat kendaraan bisnis. Ujung-ujungnya, sang penggagas kini menuai pundi-pundi cibiran dari mereka yang mendaku pernyataan bahwa jangan berlebihan atau jangan "lebay" ketika kematian didekat-dekatkan dengan kemandekan roda iklan.

Peti mati membawa pesan bahwa setiap orang bakal menemui ajal di mana dan kapan saja. Saat lahir, saat itu pula ia memproklamasikan dirinya sebagai orang yang pasti menjemput kematian dengan mengusung pelabelan "requiescat in pace" (RIP) atau semoga ia beristirahat dalam damai.

Ingin menerobos kebuntuan dan menembus kekakuan pemasaran di bidang bisnis, sejumlah pemimpin media, pemilik perusahaan iklan, dan tokoh komunikasi pemasaran menerima kiriman paket peti mati. Dan publik disergap heboh karena energi kematian dilekat-lekatkan dengan gairah kehidupan.

Detik.com, Kompas.com, Okezone.com, koran harian berbahasa Inggris "The Jakarta Post", Tempo, media televisi ANTV dan RCTI mendapat kiriman paket peti mati. Pengirim juga mengirimkan paket kepada pejabat Indosat Tbk. (Bambang Pangestu), Garuda Food (Ferry Haryanto), Garda Otto (Liaurentia Iwan Pranoto) dan PT LG Indonesia (David Tjokro).

Publik bertanya, siapa dalangnya? Kok tega-teganya menggunakan peti mati sebagai alat promosi? Pemimpin media, pemilik perusahaan iklan, dan tokoh komunikasi jadi bulan-bulanan.

Tersebutlah Sumardy Ma, selaku CEO perusahaan Buzz and Co yang telah mengeksekusi aksi itu. "Ini semata-mata hanya untuk kreativitas dalam beriklan karena kreativitas periklanan sekarang sudah mulai mati," katanya, Senin (6/6), saat dijumpai di di Senayan Trade Center (STC), lantai 3.

"Biaya beli peti mati lebih murah, ketimbang pasang iklan," katanya. Atas nama edukasi pemasaran, perlu sekitar Rp50 juta untuk meneror publik dengan kiriman peti mati ketimbang menghabiskan miliaran rupiah.

"Iklan sekarang hanya meniru. Konsumen harus diapresiasi dengan iklan yang tidak membosankan," tuturnya. "Sebenarnya mulai hari ini kita launching buku Rest in Peace Advertising Killed by Word Mouth Agency," katanya pula seperti dikutip dari detikcom.

Ide nyeleneh dan nyerempet ganjil itu mengundang reaksi publik dari laman jejaring sosial twitter. Kevin Chandra,"Ga ada cara laen apa?" UncleRIO, "Strategi yang konyol." Rreginahelin, "Habislah kau, Pak Sumardi." Gloryekasari, "Ga lucu ya. Abis deh ni org." Hastee666, "Percayalah, di sini blm siap strategi kyk gini."

Publik ingin agar Sumardy dapat menimbang-nimbang sendiri apa yang seharusnya dia lakukan. Meminjam artikulasi filsuf Immanuel Kant, publik mengimbau kepada pelaku agar berpromosilah sedemikian rupa, sehingga daganganmu laris manis, tetapi silakan menggunakan akal budi. Dengan akal budi, manusia mengetahui baik atau buruknya suatu tindakan.

Konsensus, itu yang dibuang oleh pengirim peti mati agar barang dagangannya disukai kemudian dibeli banyak orang. Soal konsensus, filsuf Aristoteles sudah menuangkan pengalamannya seputar warga polis.

Para warga polis, negara kota di jaman Yunani kuno berupaya meraih konsensus untuk menentukan tujuan bersama yang akan mereka wujudkan dalam kehidupan bersama secara politis. Cara berefleksi kemudian bertindak sang pengirim peti mati bernuansa mau menang sendiri dengan mengatakan, "pokoknya...dagangan laku," tanpa menghiraukan kebersamaan.

Dengan mengusung "efek word of mouth" (WoM) sebagai salah satu bentuk strategi pemasaran, ia merobek konsensus. Makhluk rasional direduksi semata sebagai makhluk bisnis. Pelaku membuang inti konsensus bahwa setiap manusia perlu sesekali "menggugat dirinya sendiri".

Strategi sebagai strategi menggunakan kata. Mau strategi bisnis, strategi sepak bola, strategi manajemen atau strategi berpacaran sekali pun, semuanya menggunakan kata agar manusia dapat mengerti dan menyetujuinya. Perkataanmu adalah harimaumu, demikian ungkapan bijak.

Apakah cara pemasaran dengan mengirim peti mati merupakan cara berkomunikasi? Tidak, karena cara itu menistakan inti komunikasi yakni konsensus. Strategi pemasaran yang menghormati akal budi menuntut penghormatan dan penerapan nilai kebenaran, ketepatan dan kejujuran.

Anda punya bisnis? Anda kini sedang memimpin perusahaan? Anda kini menempati posisi krusial di lembaga swasta atau pemerintah? Berkata-katalah dan bertindaklah secara benar, tepat dan jujur. Bagaimana Anda bisa memimpin orang lain, bila Anda tidak berkata-kata secara benar, tepat dan jujur. Mereka yang tidak memiliki, tidak akan dapat memberi.

Dan drama pengirim peti mati yang lebay kini menuai badai. Praktisi bisnis Rhenald Kasali menyatakan periklanan seharusnya menciptakan kesenangan, bukan keresahan. "Kalau menciptakan keresahan namanya terorisme," kata guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu saat dihubungi kemarin. Iklan juga tidak boleh bertentangan dengan tata nilai masyarakat.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, menilai penggunaan peti mati sebagai alat untuk mempromosikan suatu barang atau meluncurkan produk baru adalah hal yang tidak wajar. "Kematian, suatu yang sakral. Orang yang mati itu harus kita hormati, termasuk petinya," katanya menegaskan.

Kematian termasuk peti mati dapat melanda siapa pun, kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun. Kematian membuat manusia merasa frustrasi dan tanpa makna. Kematian menyingkirkan semua makna kehidupan, kata filsuf Jean Paul Sartre. Manusia memang tinggal menanti kematian, tetapi ia tidak pernah mengharapkan kematian.

Manusia "terkutuk" untuk mati. Ini alasan mengapa peti mati menjadi "lebay", bukan semata-mata menyandarkan diri kepada jargon mewah bahwa media massa tampil sebagai garda demokrasi. Bahasa ngepopnya, "Kurang keren. Pakai argumentasi yang mendasar."
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011