Bengkalis (ANTARA News) - Kawanan gajah liar mulai terjaga dari tidurnya di sisa-sisa hutan Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengkalis, Riau, yang tak lebih luas dari lapangan sepakbola.

Kawasan konservasi itu makin gundul dan berganti rupa menjadi kebun kelapa sawit dan semak belukar. Tempat itu adalah medan perang untuk gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) dan manusia.

Seekor gajah terlihat bergerak, nyaris tak terdengar saat menerobos ilalang. Satwa dengan berat ratusan kilogram itu memang bisa sangat halus saat berjalan.

Ia memiliki sepasang gading sepanjang satu meter yang terlihat kokoh dengan ujungnya yang runcing. Gajah jantan setinggi tiga meter itu adalah pemimpin rombongan yang terdiri dari delapan gajah liar. Ia selalu berada di depan, mengintai kondisi sekitar dan melindungi para betina.

Kawanan gajah itu baru sekitar 10 meter keluar dari pepohonan tempat mereka beristirahat, ketika dari arah lain sejumlah laki-laki datang menyergap. Mereka berteriak-teriak menghalau kawanan gajah itu sambil membawa seekor anjing yang tak henti-hentinya menyalak.

Kehadiran tamu yang tak ramah membuat gajah liar itu merasa tak nyaman. Sang pemimpin terdiam sambil mengamati dengan seksama. Telinganya terbuka lebar dan salah satu kaki depannya yang besar mencakar tanah berkali-kali, tanda si gajah mulai marah. Manusia di depannya pun mulai waspada karena perang sebentar lagi dimulai.

"Srak..Srakk..Srakkk..." Satwa bongsor itu tiba-tiba menerjang dengan cepat. Namun, manusia sudah siap untuk menangkal serangan itu. "Duarr..Duar.." Sejurus kemudian suara letusan membahana silih berganti. Kembang api berwarna merah meledak di udara, membuat kawanan gajah ketakutan dan berbalik arah.

Manusia sepertinya belum puas dengan kemenangan itu. Mereka membakar semak belukar di empat penjuru, seakan membentuk pagar untuk kawanan gajah yang terjebak di tengahnya. Binatang berbelalai itu bergerak maju mundur seperti bola ping pong raksasa yang memantul ke tembok api.

Berebut Tempat Hidup
"Mereka membakar lahan untuk menghalau gajah dan melindungi kebun sawit," kata seorang warga, Hendri.

Ia mengatakan menghalau gajah dengan membakar lahan lazim terjadi untuk melindungi ratusan hektare kebun sawit di kawasan Balai Raja. Manusia seakan melupakan bahwa tempat itu telah menjadi habitat gajah liar sejak lama. Gajah justru dicap sebagai hama perusak.

"Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan konflik selain memindahkan gajah itu, karena kalau pun harus dihalau sudah tidak ada lagi hutan untuk dituju," katanya.

Gajah dianugrahi Tuhan insting alami untuk terus bergerak di wilayah jelajah (home range) semasa hidupnya. Lintasan itu sebenarnya tak pernah berubah sebelum konflik dengan manusia makin memanas.

Namun, kerusakan hutan Balai Raja membuat kawanan gajah liar makin sering masuk ke permukiman warga untuk mencari makan. Salah satu lokasi yang sering terjadi konflik gajah dan manusia adalah Desa Petani, yang berbatasan dengan Balai Raja. Warga di Desa Petani kerap dibuat cemas karena gajah bisa berkeliaran di kampung sampai sebulan lamanya.

Sudah tak terhitung lagi kerugian akibat kerusakan pada kebun karet, kelapa sawit, dan rumah warga yang diterjang gajah liar. Belum lagi kerugian masa produktif yang terbuang, dan trauma yang diderita warga akibat konflik gajah dan manusia.

"Mata merah ini bukan karena saya mabuk, tapi sudah seminggu kurang tidur gara-gara gajah masuk kampung," kata Sapriman, warga Desa Petani.

Pria berkulit hitam itu mengatakan, dahulu kala gajah liar dengan mudah bisa pergi sendiri saat masuk kampung karena mendengar suara warga batuk. Namun, itu saat hutan Balai Raja masih lebat dan gajah liar tak kekurangan makanan.

"Sekarang harus pakai mercon baru mau pergi dan itu juga bisa kembali lagi," katanya.

Sapriman sangat menyesalkan pemerintah yang dinilai tak serius mencari solusi untuk menyelesaikan konflik itu. Dampaknya adalah warga makin kehilangan kesabaran, dan kawanan gajah liar juga makin beringas.

Akibatnya, ia mengakui ada beberapa kali warga terpaksa membunuh satwa yang dilindungi itu.

"Kalau ada gajah mati itu karena kami membela diri. Adalah salah pemerintah yang terus membiarkan konflik terus terjadi," katanya.

Tidak Ada Toleransi
Kawasan Suaka Marga Satwa berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ditujukan sebagai hutan yang dilindungi pemerintah untuk perlindungan flora dan fauna. Kegiatan manusia yang menetap seperti membuka permukiman, berkebun, apalagi membuka pertambangan, sangat dilarang di kawasan itu.

Namun, aturan itu seperti tak berlaku apabila melihat langsung Suaka Marga Satwa Balai Raja. Tidak ada batas jelas yang memperlihatkan tanda batas kawasan konservasi.

Balai Raja yang berjarak sekitar 121 kilometer dari Kota Pekanbaru seakan tenggelam oleh aktivitas eksplotasi minyak perusahaan multinasional Chevron Pasific Indonesia di daerah yang lebih dikenal dengan sebutan Duri. Pipa penyuplai minyak mentah lebih nyata terlihat dibandingkan untuk mencari tapal batas Balai Raja.

Balai Raja kini terbagi di dua daerah yakni, Kecamatan Mandau dan Pinggir. Ironisnya, kantor pemerintah dan pos polisi di Kecamatan Pinggir telah mencaplok kawasan Balai Raja. Kalau instansi pemerintah saja sudah menyalahi aturan, pastinya warga akan ikut serta. Jumlah kebun kelapa sawit yang berada di kawasan konservasi terus bertambah bagai cendawan di musim hujan.

Alhasil, Balai Raja yang awalnya pada 1990 memiliki luas sekitar 16 ribu hektare saat ditetapkan pemerintah sebagai Suaka Marwa Satwa, kini tutupan hutannya hanya tersisa 200 hektare dan sebagian besar berupa hutan sekunder.

"Kita akan menertibkan semua aktivitas yang menduduki kawasan konservasi, tidak ada toleransi," kata Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori, ketika ditemui ANTARA di Pekanbaru.

Perambahan kawasan konservasi diakui Darori menjadi fokus utama yang harus segera ditanggulangi Kementerian Kehutanan pada tahun ini. Ia mengatakan perambahan kawasan konservasi, khususnya di Pulau Sumatera, tergolong parah seperti yang terjadi di Pusat Konservasi Gajah Waykambas dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

"Dalam waktu dekat kami akan menerjunkan tim ke Riau," ujarnya.

Meski tak memberi ruang toleransi, lanjutnya, pemerintah tetap menargetkan operasi penertiban kepada perambah yang didukung pemodal besar dan cukong kayu.

"Kita prioritaskan yang besar-besar dulu," ujarnya.

Program Manager WWF di Riau, Suhandri, mengatakan Balai Raja menjadi satu dari sembilan habitat atau kantong gajah liar di Provinsi Riau. Populasinya gajah di Balai Raja diperkirakan mencapai 40 ekor. Jumlah itu memang tak sebesar seperti yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo yang mencapai ratusan ekor.

Namun, Balai Raja merupakan kantong gajah yang kondisinya paling kritis akibat perambahan kawasan hutan.

"Kondisi kerusakan Balai Raja bisa jadi preseden buruk bagi Indonesia," katanya.

Berdasarkan data WWF, sejak 2006 hingga awal 2011, telah ada sebanyak 54 ekor gajah Sumatra liar yang mati akibat berkonflik dengan manusia dan perburuan liar. Sedangkan, dalam periode yang sama terdapat 13 orang meregang nyawa akibat konflik itu.

Jumlah populasi gajah Sumatra di Riau diperkirakan terus berkurang dan kini tinggal menyisakan sekitar 350 ekor. Kematian gajah akibat konflik terus terjadi, ditandai dengan ditemukannya dua ekor gajah betina mati akibat racun di Desa Petani pada awal tahun 2011.

Menurut Suhandri, perambahan pada kawasan konservasi mulai merajalela saat Indonesia memasuki era reformasi pada 1998. Pada masa desentralisasi, pemerintah daerah kerap menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pembukaan kawasan hutan dengan alasan pembangunan. Kondisi itu makin parah karena Kementerian Kehutanan sangat minim menjaga kawasan konservasi, apalagi melakukan tapal batas yang jelas.

"Pemerintah pusat dan daerah harus mau duduk bersama mengakui bahwa gajah sudah berada di daerahnya, kemudian mencari solusi bersama," katanya.

Menurut dia, kedua pihak harus mengakui kesalahan secara arif untuk mencari solusi. Pertama, pemerintah perlu segera memperjelas batas-batas Balai Raja di lapangan dan menginventarisir luas hutan yang disalahgunakan.

Kemudian, pemerintah perlu membentuk sebuah tim reaksi cepat yang secara terus menerus mengikuti pergerakan gajah di Balai Raja agar konflik tak menimbulkan banyak kerugian. Namun, masyarakat harus tetap dijadikan garda terdepan untuk menanggulangi konflik, karena itu mereka perlu diberdayakan.

"Latih warga di daerah konflik untuk membentuk kelompok masyarakat peduli gajah yang akan saling berkoordinasi dalam proses penghalauan gajah liar sesuai prosedur yang aman bagi manusia dan juga gajah," ujarnya.

Salah satu cara pemberdayaan adalah mengajak warga untuk merelakan lahan mereka untuk ditanami pohon untuk makanan gajah liar, misalnya pohon pisang yang disukai gajah. Dengan begitu, saat gajah melintas, warga bisa mengarahkan gajah ke tanaman pisang sehingga kerusakan di kebun karet dan sawit warga bisa dikurangi.

Butuh cara untuk berdamai dengan gajah yang kehilangan habitat karena kerakusan manusia.
(F012/T010)

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011