Jakarta (ANTARA News) - Berkaca pada vonis bersalah Agus Condro berkaitan dengan kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, ICW meminta revisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban harus dapat memfasilitasi "peniup peluit".

"Vonis Agus Condro, kita (ICW) kecewa dari sisi `peniup peluit` nya. Seharusnya vonis bebas diberikan untuk si `peniup peluit`," kata Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Jakarta, Kamis.

Hukum di Indonesia, menurut dia, seharusnya memiliki prioritas terhadap orang yang berinisiatif membuka atau membongkar sebuah tindak pidana.

"Sayangnya di UU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini tidak ada fasilitas `peniup peluit` mendapat keringanan hukuman," ujar dia.

Karena itu, ia mengatakan dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban harus dipertimbangkan dengan serius soal posisi tawar dari seorang "peniup peluit" sebuah kasus tindak pidana.

Sementara itu dalam proses peradilan, ia mengatakan, seorang jaksa juga dapat berperan saat memberikan penuntutan kepada "peniup peluit" kasus tindak pidana korupsi untuk dituntut dengan hukuman ringan. Sedangkan aktor utama seharusnya diberi hukuman maksimal dan ditambah hukuman perampasan aset.

Ia mengatakan suap memang tidak menimbulkan kerugian bagi negara. Namun dalam Pasal 5, Pasal 12 huruf b dan c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan efek domino dari suap menjadi sebuah kekhawatiran, di mana dapat memicu penyalahgunaan jabatan dan sejumlah uang, yang mengakibatkan jatuh korban rakyat menjadi lebih banyak.

"(Rakyat yang tidak mendapat haknya karena dikorupsi) Itu sangat terlihat. Jadi itu harus diperhatikan," ujar dia. (V002/Z002/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011