Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat harus bersatu terkait masalah divestasi PT Newmont Nusa Tenggar.

Hal itu dikatakan Arif mengingatkan akan adanya politik adu domba oleh asing terkait saham PT Newmont Nusa Tenggara.

"Pemerintah Pusat dan Pemrov NTB harus bersatu untuk renegoisasi dan mendapatkan kembali mayoritas saham hingga 51 persen, sesuai Keputusan Arbitrase Internasional 31 Maret 2009. Jangan sampai kita terlena oleh politik adu domba yang dilakukan para pemburu rente dan mafia ekonomi yang tidak ingin melihat sistem ekonomi Indonesia berdikari dan berdaulat," kata Arif di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.

Arif mengatakan, aksi korporasi yang terjadi pada 25 Juni 2010 yakni PT Pukuafu Indah telah menyelesaikan penjualan 2,2 persen saham NNT ke PT Indonesia Masbaga Investama (IMI) yang dananya juga berasal dari PT NNT, jelas akan membuat Indonesia tidak memiliki mayoritas saham dan sebaliknya pihak PT NNT menjadi pihak mayoritas.

"Dengan penguasaan 2,2 persen saham tersebut, maka pemegang saham asing di NNT akan tetap menjadi pengendali perusahaan tambang emas dan tembaga di Sumbawa Barat, NTB. Artinya, filosofi divestasi yang memberikan kendali ke pihak nasional tidak tercapai dan saham 2,2 persen di Masbaga harus divestasikan kembali," katanya.

Dalam kaitan ini kata politisi dari PDIP ini, pemerintah harus segera membentuk Tim Re-Negoisasi agar mayotitas saham Newmont tetap berada pada Indonesia dan kewajiban-kewajiban perusahaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, seperti pajak, royalty, dividen dan sebagainya dipenuhi PT NNT.

"Presiden Susilo Bambang Yuhoyono juga harus lebih aktif mencari solusi terbaik soal kisruh Newmont ini. Jangan biarkan para pembantunya dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri ESDM berseteru, yang membuat rakyat  menjadi korban.

Arif juga menegaskan, audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus dilakukan secara menyeluruh, baik terhadap pembelian sisa saham 7 persen, yang oleh Komisi XI dan VII DPR RI dinilai sebagai pelanggaran karena menggunakan dana Pusat Investasi Pemerintah (PIP) maupun saham yang sudah dimiliki Pemrov sebanyak 24 persen.

"Dengan audit akan terlihat jelas, bagaimana proses pembelian saham divestasi dan juga sumber keuangannya," katanya.

(Zul/S026)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011