Jakarta (ANTARA News) - Ahli penyakit syaraf yang juga dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) dr Andreas Harry, SpS (K) mengemukakan bahwa forum ilmiah medis secara resmi bisa menghindari kontroversi kasus penyakit lupa Nunun Nurbaeti Daradjatun.

"Harapan saya agar tidak menjadi abu-abu di republik ini, dari sisi medis, buka saja forum ilmiah secara resmi. Panggil pakar-pakarnya untuk menilai status medisnya," katanya dalam seminar bertema "New Management of Dementia" (Penanganan Demensia) yang digagas Perhimpunan Pemerhati Lanjut Usia (PPL) "Bunda Teresa" di Jakarta, Minggu.

Menjawab pertanyaan peserta seminar yang menanyakan kasus Nunun, yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadikan sebagai tersangka kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (DSG-BI) yang dimenangkan Miranda S Goeltom pada 2004, ia menegaskan bahwa forum ilmiah medis secara resmi itu dapat memberikan kejelasan mengenai status penyakit yang diidap Nunun.

Menurut dia, dengan melihat dan membuka rekam medisnya, karena masalah itu sudah menjadi masalah publik, maka kontroversi yang ada bisa diurai kejelasannya.

Ia mengemukakan bahwa dokumen medis (termasuk yang dimiliki Nunun) memang bukan untuk publik, tapi kalau sudah menjadi masalah publik, dirinya yakin suami Nunun, Adang Daradjatun akan memberikan izin.

"Saya kira bapak (Adang Daradjatun) akan izinkan, walau secara hormat saya akan minta izin kalau memang perlu," kata Andreas, yang juga menjadi dosen luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar pada 1996-2001.

Ia juga menegaskan bahwa sebagai dokter yang menangani Nunun Nurbaeti Daradjatun, sejak tahun 2006 hingga April 2010 dirinya mendiagnosa yang bersangkutan mengalami "memory decline" (amnesia) yang akan berlanjut menjadi demensia tipe alzheimer`s, ranah yang menjadi wewenangnya hanyalah pada masalah medis semata.

"Saya ranahnya hanya medis, dan saya yakin akurat. Kalau ranah hukum dan politik saya tidak campuri sama sekali," kata ahli syaraf lulusan FK Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.

Menurut dia, dalam kasus tersebut juga menjadi pertaruhan integritas dirinya.

"Iya, saya pertaruhkan, saya katakan silakan diuji, kalau saya salah (dalam diagnosa) silakan dihukum. Silakan dibenarkan kalau (diagnosa) saya salah, binalah saya kalau salah, jangan dibunuh (karakter saya), jangan saya `dimatikan`, kalau saya salah tolong saya dibina. Tapi kalau anda juga salah, yang mengatakan (diagnosa saya bohong) tolong dong ralat," katanya.

Andreas Harry juga menegaskan bahwa dirinya sudah dipanggil majelis kode etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah DKI Jakarta pada 20 Mei, dan bahkan juga oleh KPK sendiri pada 25 November 2010 untuk menjelaskan sekaligus menyerahkan diagnosis atas masalah kesehatan pada Nunun Nurbaeti Daradjatun itu.

Menurut dia, majelis kode etik IDI tidak bisa membuka rekam medik dimaksud, karena itu merupakan rahasia medik seseorang, yang memang tidak bisa dibuka kecuali diminta oleh lembaga, seperti KPK.

"Nggak mungkin saya sebagai dokter meminta kepada majelis kode etik tolong dong dibuka (kepada publik), kalau untuk pasien saya tidak bisa kecuali diminta. Kalau tidak diminta saya diam. Tapi dengan adanya cemoohan-cemoohan tentang saya, bahwa bahwa saya membuat diagnosa palsu, saya dokter koruptor, saya `kan merasa saya punya keluarga, orangtua, relasi, punya kehidupan, sama saja karakter saya dibunuh," katanya.

Untuk itu, ia juga sepakat jika publik ingin mengetahui rekam medik yang bersangkutan, maka majelis kode etik IDI dan KPK bisa membukanya.

"Karena masalah ini sudah jadi masalah publik, ya... kita buka saja, saya akan izin bapak (Adang Daradjatun). Ini bagus untuk pendidikan bagi semua, yakni bahwa ada dokter Indonesia yang betul, ada yang salah, itu bisa diuji dan itu akan ketahuan," katanya.

Masalah tudingan diagnosa bohong itu, kata dia, sangat sensitif karena membawa nama negara, karena pihak dokter di Singapura mempertanyakan karakter dan sikap di Indonesia.

"Karakter di Indonesia seperti apa, kita sudah mendiagniosa baik-baik malah dicemooh, lebih baik kami tidak usah rawat pasien ini," katanya mengutip penilaian kalangan medis di Singapura.(*)

(T.A035/M026)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011