Jakarta (ANTARA News) - Banyak kejanggalan di kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus penjualan iPad yang dilakukan oleh Randy Lester Samu dan Dian Yudha Negara, keduanya adalah mantan mahasiswa ITB, kata Alexander Lay, pengacara kedua terdakwa tersebut.

"Ada empat saksi yang diajukan kejaksaan dalam kasus ini yakni istri Dian Yudha, yang dalam statusnya sebagai istri dapat menolak menjadi saksi. Sisanya adalah tiga orang penyidik polisi yang ikut menjebak dan menangkap Randy dan Dian," kata Alexander Lay, di Jakarta, Selasa.

Ketua tim pengacara kasus penjualan iPad ini berbicara kasus ini dalam diskusi Hukum "Penerapan UU ITE vs Kemajuan Teknologi dan Rasa Keadilan" di Jakarta. Dengan studi kasus penanganan dan penahanan hukum kasus Dian dan Randy.

Pengacara itu membeberkan bahwa pihak polisi tidak informasikan hak seorang istri untuk menolak menjadi saksi suaminya yang menjadi terdakwa. "Nanti istri Dian akan ajukan menolak menjadi saksi," katanya.

Kejanggalan lainnya adalah, tiga saksi lainnya adalah penyidik polisi. Anehnya, mereka bertiga terlibat dalam penjebakan dan penangkapan. "Mereka yang menangkap dan mereka juga yang menyidik. Ini sudah melanggar dari prinsip beracara," katanya.

Ia kemudian menceritakan kronologis penangkapan dua mantan mahasiswa ITB tersebut. "Randy dan Dian ditangkap 24 November kemudian diproses polisi hingga Desember 2010. Berkasnya dinyatakan lengkap (P21) pada 3 mei 2011," katanya,

Setelah dinyatakan lengkap diserahkan ke kejaksaan namun kemudian dilakukan penahanan penjara yang menyebabkan kedua terdakwa kehilangan pekerjaan sebagai kepala rumah tangga.

"Ini juga merupakan kejanggalan dimana terdakwa punya alamat jelas. Tidak melarikan diri selama proses di kepolisian tapi malah ditahan oleh kejaksaan," katanya.

Namun hakim kemudian membebaskan kedua terdakwa saat proses pengadilan berjalan.

Jaksa Agung Basrief Arief menyesalkan sikap anak buahnya. Ia berharap kasus iPad yang menimpa Randy Lester Samu dan Dian Yudha Negara tidak terulang lagi. Dia mengimbau para jaksa mengedepankan hati nurani dalam menangani kasus serupa.

Sementara itu, pengamat politik dan pakar komunikasi politik Effendi Ghazali sebagai salah satu pembicara dalam diskusi tersebut pesimis Randy dan Dian bisa bebas walaupun banyak mendapat dukungan dari teman-teman ITB dan media. "Banyak kasus serupa seperti ini namun tetap saja kalah dalam keputusannya," katanya.

Fadjroel Rachman, mantan aktivis mahasiswa ITB yang menjadi pengamat politik, mengatakan bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik yang ada di UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) merupakan pasal karet.

"Saya kembali ingatkan teman-teman ini, ketika mulai saat penanganan perkara ini, cobalah kedepankan hati nurani. Hati nurani ini memang tidak ada sekolahnya, tapi masing-masing," kata Basrief di Kejaksaan Agung, Jalan Hassanudin, Senin 18 Juli 2011.

Namun, menurut Basrief, secara hukum penahanan Dian dan Randy sudah sesuai prosedur. "Bahwa jaksanya menerima berkas perkara dan setelah dilakukan penelitian ternyata itu memenuhi syarat baik formil maupun materil," kata dia.

Sehingga, kata Basrief, perkara Randy dan Dian bisa ditindaklanjuti ke pengadilan. Basrief juga mengaku heran terhadap jaksa yang melakukan penahanan terhadap Dian dan Randy. Hal ini karena identitas keduanya jelas. Jika melakukan penahanan terhadap seseorang seharusnya jaksa melakukan pertimbangan matang.

"Kalau jelas identitasnya, namanya jelas alamatnya jelas, keluarga jelas, pekerjaan jelas, apakah kekhwatiran itu dimungkinkan," kata dia.

Kasus yang menjerat Randy dan Dian berawal dari niat memperoleh uang dari penjualan dua unit iPad melalui FJB Kaskus.

Kedua pemuda semula bertransaksi untuk jual beli 2 unit iPad, masing-masing seharga Rp6,6 juta untuk iPad 16 gigabyte (GB), dan Rp8,5 juta untuk iPad 64 GB.

Tiba-tiba mereka ditahan karena dinilai melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf J Undang-undang No. 8/1999 mengenai Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 junto ayat 32 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi.

Proses penangkapan kedua pemuda ini juga mengejutkan, terutama bagi keluarga mereka. Keduanya pun tak menyangka pemesan perangkat teknologi besutan Apple Inc itu adalah polisi yang menyamar sebagai pembeli.

Lebih jauh lagi, keduanya juga kaget, jika produk tanpa disertai buku panduan berbahasa Indonesia itu membawa mereka pada jerat hukum. Kasus tetap berlanjut meski mereka sudah mendapat penangguhan penahanan.

(A029)

Pewarta: Aditia Maruli Radja
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011