Semarang (ANTARA News) - Tidak tepat jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang haram bagi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilih atau golput, karena golput tidak ada hubungannya dengan syariat agama, kata pengamat politik di Semarang. "Itu terjadi, karena golput lebih berkaitan dengan demokrasi, dan urusan memilih atau tidak memilih adalah urusan manusia dengan Tuhan," kata Drs. Warsito, SU, pengamat politik Undip di Semarang, Selasa. Warsito yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Udip) di Semarang ini menambahkan, fatwa MUI tentang diharamkannya golput sebenarnya tidak tepat. Sebab, katanya, masyarakat bebas menentukan pilihan untuk memilih atau tidak memilih, dan itu hak individu, urusan masyarakat masing-masing. Warsito mengatakan, tidak digunakannya hak untuk memilih bukan berarti masyarakat tidak menyepakati peraturan yang ada, masyarakat terlalu jenuh dengan janji-janji dari partai politik (Parpol) yang tidak juga terealisasi, hal inilah yang menyebabkan angka golput tetap saja tinggi. "Masyarakat semakin tidak mempercayai pemerintahan yang ada, mereka merasa percuma saja berpartisipasi dalam pemilu jika tidak ada perbaikan yang cukup signifikan pada hidup mereka," katanya. Warsito menjelaskan, pemerintah harus menyadari bahwa hak untuk memilih atau tidak dalam pemilihan umum (pemilu) adalah hak masing-masing individu, karena hal itu merupakan hal yang biasa dalam alam demokrasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Akan tetapi fatwa haram golput dari MUI ini menurutnya tidak begitu berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah golput. Warsito berpendapat, hal utama penyebab tingginya golput adalah ketidakpuasan masyarakat akan kinerja pemerintah. "Jika kinerja pemerintah baik, dan wakil rakyat benar-benar menyuarakan suara rakyat serta pro rakyat, diyakini angka golput dari pemilu satu ke lainnya akan tidak ada," demikian Warsito.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009