dunia tidak juga siap menghadapi pandemi
Jakarta (ANTARA) - Pada KTT G20 di Italia 30 Oktober 2021, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pesan penting kepada pemimpin dunia bahwa arsitektur ketahanan kesehatan global harus ditata ulang dengan prinsip solidaritas, persamaan, keadilan dan keterbukaan.

Sebagaimana juga disampaikan Joko Widodo saat mengikuti Sidang Umum Ke-76 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 23 September 2021, tentu pengertian “tata ulang” mencakup hal yang sangat luas.

Bila menyorot pada aspek kesehatan lintas batas negara, maka perlu mengacu pada Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) sebagai instrumen hukum internasional yang mengikat setiap negara di dunia.

IHR yang digagas Majelis Kesehatan Dunia sejak 1969, hingga sekarang belum mengatur ketentuan mendasar mengenai pandemi, yang ada adalah istilah "kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia".

Ketentuan IHR yang berlaku saat ini hanya mengharuskan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyampaikan pengumuman kejadian luar biasa yang berisiko mengancam kesehatan masyarakat dunia karena penularan penyakit lintas batas negara serta membutuhkan tanggapan internasional yang terkoordinasi.

Epidemiolog Griffin University Australia Dicky Budiman mengatakan IHR hingga saat ini belum menyentuh hingga ranah pendanaan. "Itu (pendanaan) jadi masalah masing-masing negara. Tata kelola juga jadi masalah lain. Siapa melakukan apa, tanggung jawabnya apa, dan tata hubungannya bagaimana. Itu yang saat ini belum diperbaiki agar memiliki konsep atau tatanan yang ideal dan kuat," katanya.

Sejak COVID-19 diumumkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020, nyatanya masih banyak negara di dunia yang belum siap menghadapinya. Bahkan sebagian besar mengalami hambatan pertumbuhan ekonomi akibat badai SARS-CoV-2 yang terjadi hingga sekarang.

Dalam pernyataan resmi WHO yang dirilis 12 Desember 2021, pandemi COVID-19 berpotensi menghambat kemajuan cakupan kesehatan global hingga dua dekade ke depan. Sebelum pandemi pun, WHO bersama Bank Dunia mengungkap setengah miliar masyarakat dunia jatuh pada taraf kemiskinan ekstrem saat harus mengakses layanan kesehatan. Situasi itu diperkirakan semakin memburuk selama pandemi COVID-19.

Baca juga: Presidensi RI di G20 prioritaskan arsitektur kesehatan dunia
Baca juga: Kemenkes akan bahas penataan ulang arsitektur kesehatan global di G20

Biaya kesehatan tinggi

Sebagai gambaran, Direktur Utama Rumah Sakit Nasional Diponegoro Sutopo Patria Jati merilis hasil penelitian perkiraan biaya pengobatan pasien COVID-19 di Provinsi Jawa Tengah yang terbit pada Desember 2020.

Dalam laporan bertajuk "Perkiraan Biaya Terkait Perawatan COVID-19 di Indonesia: Apa yang Harus Dikhawatirkan?", disebutkan estimasi biaya perawatan COVID-19 selama 14-28 hari sebesar Rp75,7 juta sampai dengan Rp77,3 juta per pasien. Sedangkan jika pasien dirawat di ICU selama 14 hari dan non-ICU selama 14 hari serta rawat inap mencapai Rp130,4 juta sampai dengan Rp133,2 juta per pasien.

Penelitian bersama sejumlah akademisi Fakultas Kesehatan Publik Universitas Diponegoro, Semarang itu menggunakan acuan biaya yang bersumber pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/238/2020 dan perkiraan biaya INACBGs atau sistem pembayaran dengan sistem "paket" berdasarkan penyakit yang diderita pasien dengan tingkat keparahan II dan III.

Jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia, besaran biaya perawatan di Indonesia relatif setara dengan negara kaya. Analisis dari Kaiser Family Foundation memperkirakan biaya rata-rata perawatan pasien COVID-19 di Amerika Serikat (AS) dengan asuransi kelas pekerja dan tanpa komplikasi sekitar 9.763 dolar AS atau setara Rp158 juta. Pasien yang perawatannya mengalami komplikasi, tagihannya sekitar dua kali lipat di angka rata-rata mencapai hingga Rp330 juta per orang.

Biaya perawatan untuk penyakit infeksi saluran pernapasan di rumah sakit umum di Singapura berada pada rentang harga 6.000 dolar Singapura sampai 8.000 dolar Singapura atau berkisar di angka Rp60 juta hingga Rp71 juta per orang, demikian informasi dari laman Kementerian Kesehatan Singapura.

Dilansir dari pemberitaan Xinhua pada 31 Mei 2021, tagihan medis terhadap 58.000 pasien rawat inap dengan infeksi COVID-19 di China menghabiskan kocek asuransi kesehatan dasar total 190 juta dolar AS atau setara Rp2,7 miliar. Rata-rata per pasien menghabiskan 23.000 Yuan atau setara Rp52 juta per orang.

Biaya rata-rata untuk merawat pasien COVID-19 dalam kondisi parah melampaui 150.000 Yuan atau setara Rp339 juta per pasien dalam beberapa kasus kritis.

Pandemi juga dilaporkan mengganggu layanan kesehatan penting di hampir setiap negara, khususnya yang berpenghasilan rendah dan menengah.

Survei indikatif WHO yang terbit 31 Agustus 2021 melaporkan sekitar 90 persen dari total 105 negara mengalami gangguan pada 25 layanan kesehatan penting. Lebih dari separuh melaporkan gangguan dalam diagnosis dan pengobatan kanker, hampir setengahnya terdampak di program malaria, dua per lima terdampak di pelayanan tuberkulosis, sementara sepertiga dari total negara terdampak di layanan pengobatan HIV.

WHO juga melaporkan bahwa 75 persen gangguan layanan penting kesehatan, hampir setengahnya merupakan negara berpenghasilan rendah.

Sementara itu layanan darurat kritis terganggu di hampir seperempat negara. Termasuk gawat darurat di 22 persen negara, transfusi darah di 23 persen negara, dan operasi darurat di 19 persen negara.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan survei tersebut memberi gambaran bahwa sistem kesehatan yang kuat sekalipun dapat dengan cepat kewalahan saat menghadapi wabah COVID-19.

Baca juga: Pandemi buka jalan transformasi menuju arsitektur sistem kesehatan
Baca juga: Presiden serukan penguatan arsitektur kesehatan global di KTT G20

Dunia belum siap

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam keterangannya di Hotel Splendide Royal, Roma, Italia, 30 Oktober 2021, mengungkapkan pemulihan ekonomi global akibat pandemi COVID-19 di seluruh dunia yang tidak merata, salah satu penyebabnya karena sebagian negara kesulitan mengakses kebutuhan vaksin.

Situasi itu dialami sejumlah negara di Benua Afrika dengan cakupan vaksinasi berkisar 3 persen atau lebih rendah dari rata-rata cakupan vaksin negara miskin berkisar 6 persen dari jumlah penduduk. Sementara negara maju sudah di atas 70 persen dan sudah mendekati 100 persen, bahkan sudah ada yang sudah menyelenggarakan vaksinasi booster atau dosis penguat.

Sejalan dengan isu itu, Dana Moneter Internasional (IMF) meluncurkan proposal pengajuan dana 50 miliar dolar AS untuk mengakhiri pandemi COVID-19 dengan memvaksinasi setidaknya 40 persen dari populasi di semua negara pada akhir tahun 2021 dan setidaknya 60 persen pada paruh pertama tahun 2022.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva pada pertemuan puncak kesehatan yang diselenggarakan Komisi Eropa dan G20 mendorong peran serta negara kaya meningkatkan sumbangan agar memastikan pandemi berakhir lebih cepat.

Pemberitaan Reuters yang terbit pada 21 Mei 2021 melaporkan pelaksanaan rencana tersebut akan menelan biaya sekitar 50 miliar dolar AS, di mana 35 miliar dolar AS di antaranya dipenuhi melalui hibah negara kaya, donor swasta dan multilateral, serta 15 miliar dolar AS sisanya akan didanai menggunakan pembiayaan berbunga rendah atau tanpa bunga yang tersedia dari Bank Pembangunan Multilateral.

Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan pandemi COVID-19 harus menjadi katalis perubahan yang sistematis dan mendasar. Butuh tatanan global yang baru untuk mendukung pencegahan dan perlindungan terhadap kemungkinan pandemi di masa datang.

Ketidaksiapan dunia menghadapi pandemi COVID-19 sebenarnya telah disuarakan Tjandra saat dirinya menjabat sebagai anggota Komite Peninjau Kebijakan Kesehatan Internasional (The International Health Regulations Review Committee) atas hasil evaluasi pandemi flu babi atau swine flu yang disebabkan strain virus H1N1 pada 2011.

Saat itu disimpulkan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi H1N1 ketika itu (the world is ill-prepared).

Sepuluh tahun kemudian, pada 2021, Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response) kembali menyebut dunia tidak siap menghadapi pandemi COVID-19 yang mereka sebut sebagai “the world was not prepared”.

"Artinya, dengan upaya penerapan IHR selama sepuluh tahun sejak 2011 sampai 2021, maka dunia tidak juga siap menghadapi pandemi," kata Prof Tjandra.

Baca juga: Anggota DPR minta biaya perawatan COVID-19 dievaluasi
Baca juga: Kemendikbud: Sekitar 56 persen sekolah swasta kesulitan akibat pandemi

Komponen biaya saat wabah

Lebih lanjut mantan Direktur Penyakit Menular WHO itu menyebut ada lima komponen biaya yang perlu dialokasikan negara agar lebih siap menghadapi wabah.

Pertama, biaya untuk tata ulang infrastruktur kesehatan untuk memastikan sistem pelayanan kesehatan tetap berjalan meski dihadang pandemi. Infrastruktur yang dimaksud tidak hanya terkait dengan ketersediaan fasilitas Puskesmas dan rumah sakit, tapi negara harus memastikan sistem kesehatan dapat berjalan dengan optimal.

Untuk memastikan sistem kesehatan berjalan optimal, kata Tjandra, maka dibutuhkan pembiayaan kedua yang mencakup kebutuhan SDM, sarana prasarana penunjang layanan kesehatan, modal, panduan pelaksanaan kegiatan, bahan baku, dan penyediaan pasar untuk konsumen. Selain itu ada biaya perawatan pasien, vaksin dan obat-obatan.

Ketiga adalah pendanaan pada pemulihan sektor usaha serta kesejahteraan pekerja sebagai dampak lain pandemi pada kesehatan masyarakat. Menurut dia, pandemi memicu kerugian negara karena penduduknya menjadi tidak sehat.

Keempat adalah alokasi dana untuk kebutuhan persiapan negara dalam menghadapi masalah kesehatan berikutnya.

Kelima adalah kebutuhan biaya untuk kegiatan promotif kesehatan agar masyarakat membiasakan diri untuk hidup sehat seperti ajakan untuk tidak merokok, rutin berolahraga dan sebagainya. 

Seruan Joko Widodo untuk melakukan tata ulang arsitektur kesehatan global di hadapan pemimpin negara G20 tentunya memerlukan kajian diplomasi kesehatan internasional yang mendalam.

Indonesia sebagai Presidensi G20 saat ini tentunya dapat mengambil berperan besar dan bahkan ikut memimpin dalam menata ulang sistem kesehatan global demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan nama harum bangsa.

Baca juga: Sri Mulyani sebut biaya pengadaan vaksin COVID-19 capai Rp21,1 triliun

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022