Pemerintah Korsel memberlakukan deportasi tanpa kewajiban mengeluarkan biaya, sementara TKI terdeportasi tidak bisa lagi masuk ke Korsel selama lima tahun untuk kepentingan apapun.
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyosialisasikan pemulangan sekitar 2.800 - 2.900 TKI pelanggar batas izin tinggal (overstayers) dari Korea Selatan.

Dengan pulang ke tanah air, kata Jumhur melalui surat elektronik dari Kota Ansan, Korsel, Senin, para TKI "overstayers" otomatis terhindar dari sanksi pemerintah Korsel, baik dalam bentuk penangkapan maupun deportasi, di samping tidak terus-menerus membuat ketidaknyamanan bagi dirinya sendiri.

"Jadi, harus kembali dulu ke Indonesia, baru setelah itu dapat diproses lagi untuk berangkat ke Korsel," katanya pertemuan di hadapan para TKI dan dihadiri Dubes RI untuk Korsel Nicholas T Dammien.

Sekitar 2.800-2.900 TKI penempatan 2004-2006 kini menjadi "overstayers" dan sekitar 13.000 TKI penempatan 2007-2008 habis masa kontraknya pada tahun ini sehingga harus dipersiapkan kepulangannya.

Untuk tahun 2011, hingga 19 Juli lalu, BNP2TKI telah menempatkan 3.359 TKI ke Korsel dan berarti setidaknya kurang 6.641 orang untuk bisa memenuhi target menempatkan 10 ribu TKI pada tahun ini.

Pada 2004 terdapat 360 TKI yang berangkat kerja ke Korsel, pada 2005 sebanyak 4.367 TKI, pada 2006 sebanyak 1.274 TKI, pada 2007 sebanyak

4.303 TKI, pada 2008 sebanyak 11.885 TKI, pada 2.024 TKI, pada 2010 sebanyak 3.962 TKI.

Penempatan TKI ke Korsel merupakan kerja sama pemerintah kedua negara (Government to Government) sejak 2004.

Dari pemerintah Korsel diwakili oleh "Human Resources of Korea (HRD Korea) yang merupakan lembaga resmi pemerintah Korsel untuk urusan penempatan tenaga kerja asing di negara itu.

Sementara penempatan TKI ke Korsel pada 2004-2006 diselenggarakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sedangkan sejak 2007 hingga kini oleh BNP2TKI.

Menurut Jumhur, jika TKI "overstayers" terus berada di Korsel akan berisiko terjadinya penangkapan oleh aparat imigrasi dan dipulangkan secara paksa (deportasi) ke tanah air.

"Penangkapan ataupun pemulangan dalam bentuk paksa tentu akan membuat para TKI tidak merasa aman, walaupun boleh jadi mereka tidak terganggu dalam pekerjaannya karena tetap ditampung perusahaan yang lama atau baru," ujarnya.

Jumhur mendapat kabar saat ini razia atau penertiban pihak imigrasi banyak terjadi di basis pemondokan TKI ataupun di tempatnya bekerja sehingga kapan saja TKI bisa ditangkap oleh pemerintah Korsel.

Sebelum melakukan deportasi dengan biaya yang dibebankan pada TKI, katanya, imigrasi tentu saja dapat menahan TKI yang kedapatan "overstayers" di berbagai tempat penahanan, sampai adanya kesanggupan pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri.

Sebaliknya jika tidak sanggup, TKI akan mengalami masa penahanan cukup lama meski akhirnya dibolehkan bekerja melalui pengawasan petugas imigrasi, agar bisa memiliki uang sebagai ongkos deportasi terhadap dirinya.

"Pemerintah Korsel memberlakukan deportasi tanpa kewajiban mengeluarkan biaya, sementara TKI terdeportasi tidak bisa lagi masuk ke Korsel selama lima tahun untuk kepentingan apapun," katanya.

Jumhur juga mengatakan para TKI penempatan 2007-2008 yang telah habis masa kerjanya, tidak perlu bertahan terus di Korsel dengan menjadi "overstayers" sebagaimana TKI lainnya.

Perlu kesadaran agar para TKI itu mempersiapkan rencana kepulangan ke Indonesia setelah kontrak kerjanya diselesaikan.

Jumhur berkunjung ke Korsel 22-25 Juli 2011 guna menangani permasalahan TKI ilegal/overstayers sekaligus mensosialisasikan agenda pemulangannya, melibatkan kerja sama KBRI dan unsur pemerintah Korea yaitu Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi dan HRD Korea.

Dalam kunjungan itu, Jumhur didampingi Direktur Pelayanan Pemerintah BNP2TKI Haposan Saragih, Direktur Perlindungan dan Advokasi Kawasan Asia Pasifik BNP2TKI Sadono, dan Adi Dzulfuat dari Ditjen Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri.


Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011