Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaerom mengemukakan, UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan perlu segera direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, kurang implementatif dan kurang mampu dijadikan instumen untuk menghadapi tantangan global.

"Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun terakhir, menguat persoalan di sekitar pengawasan kualitas dan kandungan, proses produksi dan lebeling halal pada kemasan," kata Herman Khaeron kepada pers di Gedung DPR/MPR di Jakarta, Senin.

Hal itu, menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu, dapat dilihat dari sering munculnya kasus seperti keracunan makanan, beredarnya makanan kadaluarsa, makanan yang mengandung bahan tertentu yang mengancam keyakinan beragama konsumen.

Sebenarnya, dalam UU tentang Pangan yang ada saat ini, seluruh aspek dalam sistem pangan diatur dengan mengintegrasikan dengan UU lainnya yang mengatur tentang bahan-bahan pangan, baik olahan maupun bukan olahan, bahan pangan lain selain pertanian seperti ternak, perkebunan, perikanan dan hasil olahan industri.

Namun demikian, kata dia, dengan kondisi saat ini, adanya otonomi daerah, terjadi stagnasi pangan, perubahan iklim, pencemaran makanan, baik makanan segar maupun olahan, pola penjajahan melalui pangan dan ekonomi. Itulah sebabnya, Komisi IV DPR RI mengajukan usul RUU pangan yang akan mengganti UU Pangan yang ada sebagai inisiatif DPR RI.

"Pangan itu memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan kompleks dan tidak dapat dikerjakan oleh satu kementerian saja. Karena itu, perlu diperjelas ruang lingkup sistem pembangunan pangan nasional mulai dari produksi, distribusi hingga konsumen," katanya.

Dia berharap, akhir 2011 revisi UU itu dapat ditunatskan dan disahkan DPR RI. UU pangan yang ada belum visioner, belum konstruktif dan belum tegas. Hal ini terlihat dari muatan yang ada seperti jika terjadi gejolak, maka respons pemerintah dalam mengambil tindakan.

Muatan dalam UU Pangan sifatnya sangat umum dan terlalu banyak dilakukan pendelegeasian pengaturan serta sanksi yang relatif masih rendah. "Konsep ketahanan pangan dalam UU Pangan belum menjawab penyediaan pangan dan produksi pangan dalam negeri," katanya.

Di sisi lain, kata dia, UU Pangan juga belum mengatur yang jelas dan tegas menyangkut keamanan pangan (labelisasi) untuk dikonsumsi masyarakat sinkronisasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and cultural Rights (Konvenan/Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dimana pangan adalah bagian dari HAM di bidang sosial, ekonomi dan budaya.

Dia mengatakan, pembangunan pangan yang utuh berarti membangun pemenuhan akan kebutuhan gizi bagi manusia sehingga manusia dapat lahir dan bertumbuh dengan sehat.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011