Sanaa (ANTARA News) - Oposisi Yaman hari Senin menolak rencana pemerintah untuk perundingan yang bertujuan meredakan kekekerasan setelah protes massal berbulan-bulan yang menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh.

Oposisi menyatakan, mereka bahkan tidak mendengar "peta jalan" perdamaian semacam itu.

Wakil Presiden Abd-Rabbu Hadi Mansour, yang bertindak sebagai penjabat presiden ketika Saleh berada di rumah sakit Arab Saudi akibat cedera setelah upaya pembunuhan, mengatakan, Minggu, peta jalan perdamaian akan diluncurkan dalam sepekan ini.

Juru bicara pemerintah Tareq al-Shami mengatakan kepada Reuters, rencana itu akan dipusatkan pada perundingan dengan oposisi.

"Peta jalan didasari pada pertemuan semua pihak yang berkumpul di meja dialog dan pembahasan semua masalah," katanya.

Namun, oposisi mengulangi penolakannya untuk berunding dengan pemerintah sampai Saleh menandatangani sebuah rencana transisi yang ditengahi negara-negara Arab Teluk.

"Kami tidak tahu apa pun mengenai gagasan peta jalan. Tidak ada hal semacam itu dan kami telah memutuskan tidak memasuki dialog sampai prakarsa Teluk ditandatangani atau kekuasaan diserahkan kepada wakil presiden," kata Mohammed Basindwa, seorang pemimpin koalisi oposisi politik Yaman.

Kelompok suku yang setia pada pemimpin oposisi kuat Sheikh Sadiq al-Ahmar terlibat dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah di Sanaa setelah Saleh menolak menandatangani perjanjian transisi yang ditengahi negara-negara Teluk.

Perjanjian yang telah ditandatangani oposisi itu menetapkan Saleh meninggalkan kekuasaan dalam waktu 30 hari, dan sebagai imbalannya, ia akan memperoleh kekebalan dari penuntutan.

Saleh, yang telah berkuasa selama 33 tahun, menghadapi protes sejak Januari untuk menuntut pengunduran dirinya, yang disambut dengan tindakan keras aparat keamanan.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan lebih dari 300 orang.

Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, kehilangan dukungan AS.

Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011