Surabaya (ANTARA News) - Keterangan Kolonel Laut (S) Muhamad Irfan Djumroni, terdakwa kasus pembunuhan mantan isteri dan hakim pengadilan agama, menjadi tertawaan pengunjung dalam persidangan kelima dengan acara pemeriksaan saksi-saksi di Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) Surabaya, Senin. Keterangan yang menjadi bahan tertawaan pengunjung yang sebagian besar anggota TNI dan wartawan tersebut, menyangkut pisau mirip sangkur yang digunakan untuk menusuk korban dan pengakuan tidak tahu dari terdakwa ketika ditanya majelis hakim, apakah betul pisau itu yang digunakan untuk membunuh. Irfan yang didampingi empat orang tim penasehat hukumnya selalu menjawab tidak tahu ketika ditanya diambil dari mana pisau itu. Namun ia mengakui bahwa pisau itu miliknya. Pengakuan itu disambut tertawa pengunjung sidang, apalagi Irfan sendiri sering tersenyum dan tertawa dalam persidangan tersebut. "Pisau itu jalan sendiri kali ya? Saudara ini harus memberikan keterangan yang logis. Saudara ini kolonel, jangan terus-menerus mencari alasan. Itu malah nggak bagus. Saudara harus bertanggungjawab, jangan hanya menjawab lupa atau tidak tahu," kata Ketua Majelis Hakim, Kolonel (CHK) Burhan Dahlan, SH. Ketika diberi kesempatan untuk menanggapi keterangan saksi Muhamad Muhyidin, panitera pengganti PA Sidoarjo, Irfan menjelaskan, bahwa dirinya juga tidak pernah memberikan keterangan untuk meminta rumah di Sidoarjo yang menjadi obyek sengketa harta gono gini, juga menjadi bahan tertawaan. Saat sidang itu, Irfan membantah keterangan dari saksi Muhyidin, namun saksi tetap bersikeras dengan keterangan tersebut, yang menurutnya bisa dibuktikan dalam surat tuntutan. Kolonel Burhan membantu menjelaskan bahwa sengketa harta gono gini yang dimaksud adalah permintaan pembagian rumah sengketa tersebut dari penuntut (Kolonel Irfan). Setelah itu, Irfan baru mengangguk, dan kembali disambut tertawa pengunjung. Pengunjung sidang lagi-lagi dibuat tertawa, saat Irfan menanggapi keterangan saksi dengan cara menuding-nuding saksi. "Silahkan memberikan penjelasan, tapi tidak usah nuding-nuding seperti itu," kata Kolonel Burhan beberapa kali. Terdakwa juga sempat mengelak ketika ditanya majelis hakim, apakah tahu bahwa jaket warna biru jeans yang di bagian punggungnya terdapat tiga luka akibat tusukan betul-betul milik korban Eka Suhartini. Namun terdakwa menjawab, "betul" ketika ditanya apakah tape recorder itu miliknya. "Masak jaket saja tidak ingat. Tape recorder yang digunkan sejak lama selama persidangan saja ingat, masak bukti yang terbaru saja tidak ingat," kata Kolonel Burhan. Mendapat pernyataan seperti itu, Irfan yang sering tersenyum menjawab, betul bahwa jaket itu milik mantan isterinya. Sidang kelima tersebut berlangsung cukup lama karena keterangan dari saksi Muhyidin saja berlangsung sampai sekitar dua jam. Setelah itu Oditur Militer Kolonel (CHK) Aris Sudjarwadi dan majelis hakim meminta keterangan dari Basuni, SH, yang juga Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo saat kasus pembunuhan terjadi. Saksi lainnya adalah anggota majelis hakim PA Sidoarjo, Muhamad Toha, SH dan A.Fadlan. Hingga pukul 12.00 WIB pemeriksaan terhadap saksi-saksi itu belum selesai. Pada kesempatan itu, Muhyidin memberikan penjelasan bagaimana kronologis kejadian pembunuhan pada 21 September 2005 tersebut. Korban meninggal dalam kasus itu adalah Ny.Eka Suhartini (mantan isteri Kolonel Irfan) dan Ahmad Taufik (hakim anggota PA Sidoarjo). Saksi Muhyidin mengungkapkan, bahwa sejak sidang pertama hingga ke-16 dalam perebutan harta gono gini di PA Sidoarjo, Irfan telah menunjukkan sikap tidak sopan dan suka marah-marah. Bahkan ia sering menuding-nuding ke arah majelis hakim selama persidangan berlangsung. Pada kesempatan itu, Muhyidin diminta untuk memeragakan bagaimana penusukan tersebut terjadi hingga menyebabkan korban meninggal. Untuk menguatkan keterangan saksi-saksi, majelis hakim meminta oditur untuk menunjukkan bukti-bukti, antara lain pisau, jaket milik Ny.Eka Suhartini dan tape recorder yang digunakan terdakwa untuk merekam jalannya sidang di PA Sidoarjo.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006