Pernyataan Kepala Desa Mungguk Gelombang, Yusak, yang ingin mengibarkan bendera Malaysia di desa yang masuk administratif Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, seolah menyengat banyak pihak.

Apalagi disampaikan menjelang peringatan 66 tahun Indonesia sebagai negara berdaulat oleh Soekarno dan Hatta.

Jajaran Pemerintah Kabupaten Sintang, kalangan tentara dan polisi menggelar rapat setelah pernyataan Yusak diekspos di media massa.

Komando Daerah Militer XII Tanjungpura pun melakukan pengecekan langsung di lapangan terkait adanya kabar rencana tersebut.

Kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama Kalbar, MH Munsin menegaskan bahwa berita tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya.

Semua berusaha membantah berita tersebut. Beragam media massa baik lokal maupun pusat pun kemudian berburu berita di Kecamatan Ketungau Tengah.

Meski ada beberapa kalangan DPR dan DPRD dari Kalimantan Barat yang mengakui bahwa isu itu merupakan hal yang mungkin saja terjadi.

Anggota DPR RI Karolin Margret Natasa mengatakan, isu pengibaran bendera Malaysia di wilayah perbatasan Kalimantan Barat merupakan ungkapan putus asa masyarakat di wilayah tersebut.

"Itu jeritan atau ungkapan putus asa masyarakat di wilayah perbatasan karena memang akses mereka yang sangat sulit," kata Karolin di Pontianak, Jumat (12/8).

Sementara Anggota DPRD Kalimantan Barat Suprianto mengatakan, ancaman pengibaran bendera lain menjelang 17 Agustus karena masyarakat perbatasan menganggap tidak adanya perhatian dari pemerintah pusat dan daerah.


Terbantu Jiran
Harus diakui, selaku jiran, Malaysia cukup menopang kehidupan masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak.

Terlebih lagi ada perjanjian Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia yang memungkinkan warga di perbatasan berbelanja kebutuhan sehari-hari di Sarawak dengan nilai maksimal 600 ringgit Malaysia.

Beragam kebutuhan seperti elpiji, gula, makanan ringan, minuman, telur, terkadang dibeli dari Sarawak. Sementara warga Kalbar di perbatasan menjual hasil alam seperti cabai, jahe atau lengkuas.

Lambat laun, kebutuhan itu berubah menjadi ketergantungan, misalnya elpiji. "Kami sudah lama menggunakan elpiji dari Sarawak," kata Imran, Kepala Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.

Ketergantungan itu yang akhirnya menimbulkan keresahan warga karena Pemerintah Malaysia melarang elpiji yang mereka subsidi juga dimanfaatkan warga luar.

"Masyarakat kesulitan mendapatkan elpiji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sejak dua minggu terakhir," kata Imran, Senin pekan lalu.

Ia memperkirakan ada ribuan warga di Entikong yang mengalami hal yang sama. Kondisi ini dialami pula beberapa daerah di Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak.

Elpiji dari Pertamina kurang laku karena harganya lebih mahal dan beratnya lebih ringan dibanding yang dijual Petronas.


Pilihan Logis
Akses yang lebih mudah ke Sarawak menjadi salah satu alasan warga perbatasan tidak memilih produk dalam negeri.

Desa Suruh Tembawang, terletak sekitar 60 kilometer dari Entikong. Entikong mempunyai Pos Pemeriksaan Lintas Batas darat yang pertama di Indonesia. Namun hingga kini belum ada jalan aspal menuju desa tersebut.

Warga Suruh Tembawang harus menyusuri Sungai Sekayam menggunakan perahu bermotor selama setengah hari sambil melewati beberapa riam yang berbahaya. Alternatif lain, masuk ke wilayah Sarawak dan mengikuti jalan mulus tak jauh dari perbatasan lalu kembali ke wilayah Kalimantan Barat. Itu pun harus berjalan kaki.

Atau warga Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, yang berbatasan langsung dengan Melanau, Sarawak.

Desa yang letaknya paling utara Kalimantan Barat itu, dapat dijangkau menggunakan kapal dari Desa Sebubus menyusuri tepian Laut Natuna. Pilihan lain, menggunakan sepeda motor menyusuri Pantai Paloh sepanjang 60 kilometer, sambil memperhitungkan pasang surut air laut, sungai yang banjir dan buaya muara.

Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, yang sudah menjadi salah satu Pos Pemeriksaan Lintas Batas baru, pun tidak mudah dijangkau. Dari ibu kota Kabupaten Sambas, Sambas, melewati jalan tanah merah yang licin di waktu hujan, berdebu di waktu kemarau.

Jarak 99 kilometer pun harus ditempuh empat jam lebih, kalau cuaca bagus.Bagi sebagian orang, jauh lebih mudah dan nyaman kalau menjangkau Aruk melalui Entikong, masuk ke Sarawak, menyusuri jalanan mulus di negeri jiran itu, menuju Biawak, yang berbatasan langsung dengan Aruk. Cukup tiga jam perjalanan.

Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya, harus menempuh perjalanan hampir 24 jam dari Pontianak untuk tiba di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, lokasi lain rencana Pos Pemeriksaan Lintas Batas.

Pulangnya, ia masuk ke Sarawak dari Badau melalui Lubok Antuk, dan menyusuri jalan di perbatasan di wilayah Malaysia dan kembali masuk ke Kalimantan Barat di Entikong.


Masih Klasik
Hidup dengan akses jalan yang sangat minim, tanpa listrik, pelayanan publik lain terbatas, selama puluhan tahun, apa yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan warga perbatasan saat ini?

Untuk menarik perhatian negara, mungkin salah satunya dengan wacana pengibaran bendera Malaysia, yang dianggap lebih "dekat" dibanding negeri sendiri.

Meski masih belum maksimal, upaya pemerintah sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun lalu. Gubernur Kalbar Cornelis mengatakan, cukup banyak program pemerintah dalam mewujudkan perbatasan sebagai beranda negara sesungguhnya.

"Untuk jalan dari Sambas menuju Aruk, dialokasikan Rp270 miliar dan diharapkan segera dibangun," kata Cornelis.

PLN pun ikut mencoba menerangi perbatasan dengan program kelistrikan, di antaranya, membangun dua unit Pembangkit Litrik Tenaga Surya di Desa Sidding (Kabupaten Bengkayang) dan Temajuk (Kabupaten Sambas).

Alasan klasik adalah terbatasnya dana. "Program ada, tapi sekarang tergantung dana. Tidak hanya untuk perbatasan, tetapi juga Kalbar," kata Christiandy Sanjaya.

Butuh triliunan rupiah untuk membangun perbatasan Kalbar, sedangkan APBD Kalbar tahun 2011 sekitar Rp1,8 triliun. Salah satu harapan adalah komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam membangun perbatasan.

Kalau tidak, bukan tidak mungkin akan muncul Yusak-Yusak baru di perbatasan Kalbar, yang tentu saja lebih keras menagih janji pemerintah dengan caranya sendiri. (T.T011)

Oleh Oleh Teguh Imam Wibowo
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011