Jakarta (ANTARA News) - Dalam menyimpulkan adanya kartel, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkadang bersandar pada metode analisis ekonomi dan statistik.

Dalam menyimpulkan adanya "price-fixing" (penetapan harga/perjanjian harga), KPPU mendalilkan adanya "parallel pricing" (pergerakan harga yang paralel) dan dalam membuktikan adanya kartel produksi/pemasaran, KPPU mendalilkan adanya "parallel sales" (pergerakan penjualan yang paralel).

Metode pembuktian dengan bukti ekonomi tentu saja bukanlah sesuatu yang dilarang dalam hukum persaingan usaha karena di berbagai negara yang sudah mapan hukum persaingannya pun, seperti Eropa dan Amerika, bukti berupa hasil analisis terhadap data-data ekonomi mempunyai peranan yang sangat krusial.

Untuk kasus kartel, penggunaan bukti ekonomi, meskipun bisa, sangat jarang digunakan dan hanya sebagai pendukung saja.

Otoritas persaingan lebih banyak bersandar pada "hard evidence" (bukti kuat) seperti bukti komunikasi dan kesaksian dari pelaku usaha yang terlibat, khususnya pelaku yang sepakat untuk menjadi "whistleblower" ("peniup peluit").

Berdasarkan ketentuan mengenai "leniency" (kelonggaran), pelaku usaha dan individu yang bersedia untuk memberikan informasi dan bukti mengenai adanya kartel akan dikurangi atau sama sekali tidak dikenakan sanksi denda. Ketentuan seperti ini sayangnya tidak diadopsi dalam UU Anti Monopoli kita.

Kartel tidak bisa dibuktikan semata-mata dengan menggunakan bukti ekonomi karena satu fenomena ekonomi bisa jadi mencerminkan dua keadaan yang benar-benar berbeda.

Sebagai contoh, "parallel pricing" yang sering dikutip dan digunakan oleh KPPU sebagai bukti adanya "price fixing", merupakan fenomena ekonomi yang bisa timbul karena kartel, bisa juga terjadi karena persaingan yang sengit, khususnya di pasar yang cenderung oligopolistik.

Dalam pasar yang oligopolistik, tindakan dari setiap pelaku usaha akan bisa diamati dan dirasakan oleh pelaku usaha lainnya, sehingga tanpa ada komunikasi apapun, bisa saja terjadi pola pergerakan harga yang sama, seperti sama-sama naik atau sama-sama turun.

Tujuannya adalah untuk menghindari efek yang signifikan dari strategi harga pelaku usaha pesaing terhadap tingkat penjualan.

Selain adanya berbagai kemungkinan yang muncul dari fenomena yang sama, pemilihan dan penggunaan metode analisis ekonomi dan statistik juga akan sangat menentukan kesimpulan mengenai ada atau tidak adanya kartel.

Metode yang salah akan berakibat pada kesimpulan yang salah pula. Sebagai contoh, dalam putusan kartel dengan menggunakan metode grafik untuk menentukan adanya pergerakan harga yang paralel.

Analisis dengan grafik memiliki kelemahan karena analisis seperti ini bisa menghasilkan kesimpulan yang multi-interpretatif dan dapat menyesatkan karena kemampuan mata manusia yang terbatas.

Selain itu, penggunaan grafik juga sangat tergantung dari skala grafik yang dibuat. Skala grafik yang berbeda dapat menghasilkan tampilan grafik yang berbeda pula. Tampilan grafik yang berbeda akan menghasilkan interpretasi dan kesimpulan yang berbeda pula meskipun data yang digunakan untuk membuat grafik tersebut adalah sama.

Akibat tampilan grafik yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar seperti skala grafik dan proporsionalitas sumbu pada grafik, seperti membuat panjang sumbu horizontal terlalu panjang dibandingkan sumbu tegak dan skala data yang digunakan maka hal itu bisa tidak mencerminkan range data harga.

Pelanggaran prinsip-prinsip tersebut, menyebabkan kesimpulan mengenai "parallel pricing" menjadi sangat dipertanyakan validitasnya. Apabila kesimpulan tentang "parallel pricing" ini sangat meragukan, maka kesimpulan adanya "price-fixing" pun patut dipertanyakan.

Kelemahan dalam metode juga terlihat dalam pembuktian adanya "parallel sales". Dalam membuktikan adanya "parallel sales", uji statistik "test equality of variance" berbeda dengan "test equality of means".

Padahal, metode yang terakhir inilah yang bisa digunakan untuk melihat tren atau kecenderungan volume penjualan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kesimpulan tentang pengaturan produksi/pemasaran menjadi salah karena adanya kesalahan metode analisis.

Jika tidak, penggunaan metode ekonomi secara serampangan oleh KPPU akan kembali terulang dan ini sangat membahayakan penegakan hukum persaingan usaha di masa yang akan datang.

*Penulis adalah Peneliti pada Indonesian Community for Competition & Consumer (ICCC).

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011