Hukum yang saat ini berlaku juga masih memberi beban pembuktian kepada korban.
Jakarta (ANTARA) - Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan menyerang siapa saja terlepas jenis kelamin, usia, dan pekerjaannya.

Perempuan, laki-laki, dan anak-anak, seluruhnya rentan jadi korban kekerasan seksual, mulai dari pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual, sampai pelecehan secara fisik dan verbal.

Berbagai kasus yang sempat ramai menarik perhatian publik, misalnya kasus Herry Wirawan dan Bripda Randy hanya sebagian kecil yang dapat diproses secara hukum.

Namun, situasi riilnya, banyak korban tidak melaporkan kasusnya karena hukum belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Hukuman penjara yang diterima oleh Baiq Nuril adalah salah satu contoh ketidakmampuan hukum menghukum pelaku dan melindungi korban.

Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang kemudian jadi terpidana karena dia merekam dan membagikan bukti pelecehan, yang dilakukan oleh pimpinannya di tempat kerja, ke rekannya.

Bukti pelecehan itu, yang tadinya diharapkan oleh Baiq Nuril dapat menghentikan perbuatan pelaku, justru mengantar dia masuk bui.

Meskipun pada akhirnya Baiq Nuril mendapat amnesti dari Presiden RI Joko Widodo, pelaku pelecehan tetap bebas dari jerat hukum.

Kasus Baiq Nuril merupakan bukti konkret ketidakmampuan hukum melindungi korban dan memberi efek jera pada pelaku kekerasan seksual. Pasalnya, aturan hukum yang saat ini berlaku tidak mengenal istilah kekerasan seksual.

Pasal-pasal pada KUHP hanya dapat menghukum perbuatan cabul/pencabulan dan pemaksaan persetubuhan/pemerkosaan. Padahal, spektrum kekerasan seksual luas dan tidak sebatas dua perbuatan itu.

Baca juga: Ketua Panja dukung 'victim trust fund' dalam RUU TPKS

Baca juga: RUU TPKS dan perlindungan extra ordinary bagi korban


Tidak hanya itu, hukum yang saat ini berlaku juga masih memberi beban pembuktian kepada korban, misalnya bukti bahwa mereka telah diperkosa atau mengalami pencabulan.

Pembuktian pemerkosaan sendiri juga rumit karena harus dilakukan lewat visum sesaat atau tidak lama setelah pemerkosaan itu terjadi.

Persoalannya, banyak korban baru berani melapor ke kepolisian setelah kejahatan itu telah lama terjadi, atau setelah mereka berulang kali diperkosa atau dilecehkan.

Ketakutan dan keengganan melapor itu bukan tanpa sebab karena situasinya masih banyak aparat penegak hukum tidak menyediakan akses pelaporan yang aman bagi para penyintas.

Tidak jarang para penyintas kekerasan seksual kembali mendapat pelecehan dan perlakuan yang justru menjadikan mereka korban untuk kesekian kalinya.

Di samping masalah akses pelaporan, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang melibatkan relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Banyak korban tidak cukup berani melaporkan kekerasan yang dia alami karena takut keselamatan hidupnya, kariernya, atau sumber penghidupannya terancam.

Tidak hanya itu, pelaku juga kerap menggunakan intimidasi, ancaman, dan manipulasi sehingga korban dapat diperkosa atau dilecehkan berulang kali sebagaimana terjadi pada kasus Herry Wirawan.

Berbagai persoalan itu menyebabkan kasus kekerasan seksual tidak pernah surut di Indonesia.

Banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan beberapa lembaga pemerintah telah aktif menyuarakan isu “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual” dan mendesak pemerintah bersama DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) jadi undang-undang.

Butuh Political Will

Advokasi terhadap pengesahan RUU TPKS—yang mulanya disebut sebagai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual—telah berlangsung setidaknya sejak 2012.

RUU itu telah beberapa kali masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas). Akan tetapi, tidak juga kunjung dibahas.

Pro dan kontra serta sentimen buruk kelompok tertentu menjadikan RUU itu kerap dihapuskan dalam daftar prolegnas sehingga pembahasannya pun tertunda.

Badan Legislasi DPR RI kemudian mengambil alih pembahasan RUU itu dan merampungkan drafnya pada tahun 2021.

Upaya itu berlanjut setelah Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Januari 2022 menyetujui RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR RI.

Demi menindaklanjuti pembahasan RUU TPKS, Presiden RI Joko Widodo pun berkirim surat (supres) ke Ketua DPR RI Puan Maharani.

Surat presiden (surpres) bernomor 5.05/Pres/02/2022, yang diterima DPR RI pada tanggal 11 Februari 2022 menerangkan bahwa wakil pemerintah yang akan membahas RUU TPKS bersama DPR. Presiden juga mengirim daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dibuat oleh Pemerintah terkait dengan RUU TPKS.

Setidaknya ada 588 DIM yang disusun pemerintah terkait dengan pembahasan RUU TPKS.  Namun, pembahasan RUU TPKS kembali mandek setelah Baleg DPR RI tak mendapat persetujuan pimpinan DPR RI menggelar pelaksanaan rapat kerja RUU TPKS bersama pemerintah pada masa reses, tepatnya pada tanggal 23 Februari 2022.

Alhasil, rencana rapat kerja itu batal dan pembahasan RUU TPKS pun harus menunggu masa reses DPR berakhir. DPR RI reses sejak 19 Februari 2022—14 Maret 2022.

Terlepas dari berbagai alasan yang disampaikan oleh DPR RI, batalnya rapat kerja itu bukan sikap yang diharapkan publik terkait dengan percepatan pengesahan RUU TPKS jadi undang-undang.

Baca juga: Baleg DPR batal bahas RUU TPKS bersama pemerintah

Baca juga: ICJR sarankan penerapan dana talangan pada pembahasan RUU TPKS


DPR RI perlu memahami bahwa makin lama RUU TPKS diulur-ulur pembahasan dan pengesahannya maka kemungkinan akan ada lebih banyak korban yang takut melapor sehingga pelaku dapat terus bebas dari jerat hukum.

Komnas Perempuan pada awal tahun ini menyampaikan tiap 2 jam sekurang-kurangnya ada tiga korban kekerasan seksual.

Itu angka dari mereka yang melapor, sementara banyak korban tidak melaporkan kasusnya, kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Artinya, jumlah riil korban jauh lebih banyak dari data yang berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan.

Temuan itu patutnya tidak dilihat hanya sebagai angka, tetapi sebagai sosok manusia yang perlu dilindungi harkat dan martabatnya, keselamatannya, dan hak-hak mendasar, utamanya hak atas rasa aman.

Publik yakin para wakil rakyat mampu membahas RUU TPKS secara cepat sebagaimana yang telah dilakukannya pada undang-undang lain, misalnya UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan yang paling baru Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN).

Pembahasan RUU IKN menghabiskan waktu selama 43 hari terhitung sejak 7 Desember 2021. Dalam pembahasannya, Tim Panitia Khusus (Pansus) DPR RI menggelar rapat maraton selama kurang lebih 16 jam.

Gereget semacam itu yang tentunya diharapkan oleh publik dilakukan DPR RI saat membahas RUU TPKS.

Publik berharap RUU TPKS segera disahkan karena aturan itu akan mengisi berbagai kekosongan hukum yang fokusnya tidak lagi hanya menghukum pelaku, tetapi yang lebih penting adalah melindungi korban serta menjamin pemulihan para penyintas kekerasan seksual.

Namun, harapan itu hanya mungkin terwujud jika ada kehendak politik yang tulus (political will) dari para wakil rakyat bersama pemerintah untuk tak lagi menunda pembahasan dan mempercepat pengesahan RUU TPKS.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022