Jakarta (ANTARA) - Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo) Dimas Syailendra Ranadireksa berpendapat bahwa kampanye negatif terhadap produk tembakau alternatif, terutama di Indonesia, perlu ditekan dengan menghadirkan informasi yang akurat dan kredibel terkait manfaat produk alternatif itu.

“Prevalensi merokok di Indonesia sudah menyentuh 65 juta jiwa, salah satu yang tertinggi di dunia. Kampanye negatif hanya akan semakin menjauhkan perokok dewasa Indonesia dari produk tembakau alternatif yang bisa menjadi solusi komplementer menekan prevalensi merokok di negara ini,” ujar Dimas dikutip dari siaran persnya, Rabu.

Baca juga: Pemerintah diharapkan perjelas regulasi produk tembakau alternatif

Ia melanjutkan aktivitas merokok berkorelasi dengan berbagai macam penyakit seperti kanker paru-paru, kanker kerongkongan, penyakit jantung koroner, hingga stroke. Dengan fakta bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok, Dimas berharap perokok dewasa bisa beralih ke produk tersebut demi meringankan masalah kesehatan.

“Produk tembakau alternatif memiliki manfaat yang besar demi mendorong perbaikan kesehatan publik. Pemerintah harus aktif dalam menekan kampanye negatif terhadap produk tembakau alternatif dengan menggandeng dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait demi terciptanya peralihan perokok dewasa ke produk yang lebih rendah risiko ini,” kata Dimas.

Sebelumnya, Wakil Direktur the Consumer Choice Center, lembaga internasional perlindungan konsumen yang berpusat di Washington DC Amerika Serikat, Yael Ossowski mengatakan, kampanye negatif terhadap keberadaan produk tembakau alternatif masif digaungkan kepada publik demi menutupi fakta bahwa produk itu memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok konvensional.

Sikap anti tersebut cenderung meningkatkan mispersepsi pada perokok dewasa yang ingin beralih ke produk yang lebih rendah risiko dan meningkatkan masalah kesehatan publik.

Contohnya, kampanye informasi publik yang menyebarkan misinformasi atas produk tembakau alternatif, pengenaan pajak tinggi, pembatasan hingga larangan penggunaannya. Intinya adalah mencegah perokok dewasa memiliki akses ke produk tembakau alternatif.

“Badan kesehatan maupun kelompok anti tembakau meyakinkan publik bahwa produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan kantong nikotin memiliki risiko yang sama atau bahkan lebih berisiko daripada rokok,” ungkap Yael.

Padahal, pesan yang disampaikan tersebut tidak tepat, bahkan dilakukan untuk menutupi fakta tentang produk tembakau alternatif yang terbukti secara ilmiah memiliki risiko yang lebih rendah hingga 95 persen dibandingkan rokok konvensional.

Menurut Yael, jika kampanye ini berlangsung terus-menerus, maka akan semakin memperbesar masalah kesehatan publik karena perokok dewasa enggan untuk beralih ke produk tembakau alternatif. Dampak dari kampanye penolakan terhadap produk tembakau alternatif pun terlihat dengan meningkatnya angka penjualan rokok di Amerika Serikat pada 2020 lalu.

Berdasarkan laporan Komisi Perdagangan Federal, penjualan rokok mencapai 203,7 miliar batang pada 2020. Meningkat 0,8 miliar batang dibandingkan pada 2019 lalu. Ini merupakan peningkatan pertama dalam penjualan rokok dalam 20 tahun terakhir.

“Mereka diberi tahu berulang kali bahwa produk tembakau alternatif yang digunakan oleh jutaan konsumen dewasa untuk berhenti merokok sama berbahayanya dengan rokok,” ujar Yael.

Faktanya, dengan hadirnya produk tembakau alternatif, persentasi perokok sempat mengalami penurunan hingga 14 persen pada 2019 lalu.

“Peningkatan angka perokok ini menunjukkan hasil bahaya yang sebenarnya, yaitu ketika pelobi kelompok kesehatan yang bermuatan politik berusaha untuk memadamkan alternatif dari rokok,” tegasnya.

Baca juga: Mispersepsi bikin perokok dewasa enggan beralih ke tembakau alternatif

Baca juga: Regulasi tembakau alternatif dinilai bantu tekan prevalensi perokok

Baca juga: Beda dengan vape, ini fakta-fakta tembakau alternatif yang dipanaskan


Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022