Dibutuhkan inovasi dalam bentuk biosensor dan biodivais untuk membantu diagnosis dini dan memetakan sebaran penyakit, baik penyakit tropis maupun wabah penyakit
Jakarta (ANTARA) - Indonesia termasuk ke dalam 10 "hotspot" penyakit tropis. Kasus penyakit tropis itu seperti demam berdarah, malaria dan chikungunya, yang hingga kini masih banyak ditemukan di Indonesia.

Apalagi saat ini wabah COVID-19 yang menjadi pandemi terus melanda Indonesia dan dunia. Hingga sekarang ini, Indonesia masih berupaya keras menangani pandemi COVID-19 yang belum berakhir sejak kasus infeksi pertama muncul di Tanah Air pada awal Maret 2020.

Menjawab permasalahan tersebut, dibutuhkan inovasi dalam bentuk biosensor dan biodivais untuk membantu diagnosis dini dan memetakan sebaran penyakit, baik penyakit tropis maupun wabah penyakit.

Biosensor merupakan instrumen pendeteksi atau penyelidik yang mengombinasikan komponen biologis seperti mikroba, jaringan, sel, bakteri, protein, enzim, antibodi, dan elektronis untuk memproduksi sinyal terukur, yang bisa mendeteksi, mencatat, dan mengirimkan informasi secara cepat.

Tentunya, pengembangan inovasi untuk deteksi dini penyakit tropis dan wabah akan lebih cepat tercapai jika terjalin kolaborasi antarpihak terkait yang fokus untuk mencapai target yang sama sehingga mampu memobilisasi dan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.

Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjalin kolaborasi dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mengembangkan Pusat Riset Kolaborasi (PKR) Biosensor dan Biodivais Untuk Pengendalian Penyakit Tropis dan Wabah Penyakit.

Melalui PKR tersebut, para peneliti dari kedua institusi dapat berkolaborasi dan berinovasi dalam menciptakan sistem deteksi dini penyakit tropis dan wabah penyakit.

PKR merupakan salah satu skema fasilitasi dan pendanaan riset dan inovasi yang disiapkan BRIN untuk menjadi "hub" bagi para peneliti dan pihak terkait dalam berinteraksi dan bekerja sama melakukan kegiatan riset dan pengembangan untuk menjawab kebutuhan spektrum riset yang spesifik.

Selain itu, PKR juga berperan sebagai pusat riset yang menjadi wadah kolaborasi pelaksanaan riset dan inovasi bertaraf internasional, yang bisa melibatkan perguruan tinggi, BRIN, industri, mahasiswa bahkan mitra dari dalam dan luar negeri.

Kolaborasi terfokus pada bidang spesifik secara multi dan interdisiplin, dengan standar hasil yang sangat tinggi dan relevan dengan kebutuhan pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beroperasi lima tahun

Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, PKR utamanya ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di kampus, BRIN, industri dan mitra internasional untuk bisa adaptif dan fleksibel mengikuti perkembangan dinamika riset sehingga PKR harus fokus pada tema unggulan spesifik dengan target tertentu, baik sains ataupun industri.

Pengusul yang mengajukan pembentukan pusat kolaborasi riset adalah kelompok riset di perguruan tinggi sebagai Principal Investigator (PI) bersama Pusat Riset BRIN.

Operasional PKR dilakukan berbasis kontrak dengan periode tertentu, dan dilakukan evaluasi tahunan dan di akhir periode. Lembaga pelaksana adalah perguruan tinggi lokal yang memiliki sumber daya manusia (SDM) dengan kuantitas dan kualitas tertentu di bidang riset spesifik, dan harus berkolaborasi dengan Pusat Riset BRIN di bidang terkait.

Semua proses seleksi murni untuk proposal pembentukan PKR didasarkan pada rekam jejak dan evaluasi berbasis keluaran (output), dan seluruh personel wajib berafiliasi ganda terkait output yang dihasilkan seperti paten.

Dalam skema PKR, BRIN memberikan pendanaan untuk biaya SDM, SDM manajemen riset, bahan riset, dan penyediaan infrastrukturnya. Perguruan tinggi berkontribusi menyiapkan alokasi periset dari unsur dosen dan mahasiswa pascasarjana, ruang kerja, dan operasional perkantoran.

Sementara mitra industri dapat membawa masalah riset dan menyediakan bahan dan fasilitas produksi hingga percobaan implementasi.

Menurut Ketua pengusul PKR Biosensor dan Biodivais Untuk Pengendalian Penyakit Tropis dan Wabah Penyakit Prof Brian Yuliarto dari ITB, PKR tersebut akan beroperasi selama lima tahun, bekerja sama dengan Pusat Riset Kimia dan Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi BRIN.

"Ketiga ini harapannya menjadi hub, tidak ada batas di antara peneliti-peneliti di bawah ketiga lembaga ini. Kami akan berbagi SDM, alat, dan pengetahuan," kata Dekan Fakultas Teknik Industri ITB itu.

Pada tahap awal, PKR akan melakukan tiga pendekatan bioteknologi untuk biosensor dan biodivais, yaitu plasmonic effect biosensor yang berupa surface plasmon resonance (SPR) dan localized surface plasmon resonance (LSPR), fluorescence biosensor, dan electrochemical biosensor.

Pada tiga tahun pertama dimulainya PKR itu, ketiga teknologi biosensor akan difokuskan untuk menguasai tiga target penyakit yaitu virus dengue, chikungunya, dan SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, bersama famili virus tersebut.

PKR tersebut utamanya menargetkan terciptanya sistem sensor dan perangkat atau kit diagnostik berbasis sumber daya alam Indonesia untuk tiga target penyakit itu.

ITB memiliki bidang keahlian tentang nanomaterials, biosensor, dan optical sensor (SPR dan LSPR), sementara Pusat Riset Kimia Maju BRIN mempunyai bidang keahlian nanochemistry, supramolecular, biomdedical, biosensors, dan fluorescence analysis.

Sedangkan Pusat Riset Telekomunikasi BRIN memiliki keahlian di bidang biophotonics, embedded system electronics, electrical, device fabrication, dan MEMs.

ITB mempunyai jejaring cukup kuat dengan Universitas Queensland di Australia dan National Institute for Materials Science (NIMS) di Jepang. Sementara Pusat Riset Kimia Maju BRIN banyak berkolaborasi dengan Universitas Monash di Australia, sehingga jejaring tersebut akan bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan riset dan pengembangan di PKR.

Paten

Selain menciptakan sistem sensor dan kit diagnostik, PKR tersebut juga memiliki target luaran (ouput) berupa publikasi ilmiah, paten setiap tahun, purwarupa, dan lima mahasiswa mendapatkan gelar doktor yang dihasilkan dalam waktu lima tahun.

Melalui keberadaan PKR itu, diharapkan terjalin kolaborasi riset bersama, meningkatnya jumlah publikasi penelitian ilmiah di jurnal internasional, serta terjadinya realisasi dan komersialisasi teknologi biosensor yang dikembangkan guna mengatasi wabah penyakit tropis di Indonesia.

PKR tersebut juga dapat berkontribusi terhadap penambahan kualitas dan kuantitas mahasiswa doktoral yang lulus per tahunnya, serta optimalisasi pemanfaatan infrastruktur milik negara yang berada di BRIN untuk menciptakan inovasi di bidang biosensor.

Menurut Ketua Research Center on Nanoscience and Nanotechnology ITB itu, PKR akan lebih memudahkan kegiatan berbagi penggunaan peralatan riset dan dukungan terkait lainnya.

Demikian pula, proses hilirisasai untuk menghasilkan produk riset yang lebih komersial dan pengembangan tingkat kesiapan teknologi yang lebih tinggi juga dapat difasilitasi oleh BRIN.

Dengan penguasaan teknologi yang baik dan terkini melalui skema kolaborasi riset dan pengembangan di bawah kerangka PKR, maka proses penciptaan teknologi dan inovasi dapat berlangsung jauh lebih cepat dibanding sebelumnya.

Diharapkan ketika ada sebaran penyakit seperti pandemi atau sejenisnya, maka Indonesia terutama para peneliti bisa merespons dengan cepat untuk melahirkan teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk melakukan deteksi dini karena sudah menguasai teknologi tersebut, dan ke depan bisa berkolaborasi dengan industri untuk memproduksi dan mengomersialisaikan produk riset dan inovasi kepada masyarakat luas.

Baca juga: Peneliti 11 negara bahas penyakit tropis

Baca juga: Dokter Penyakit Tropik-Infeksi UI imbau warga segera lakukan vaksinasi

Baca juga: Mahasiswa Asing Belajar Penyakit Tropis di UMY

Baca juga: Suhu Udara Berperan Sebarkan Penyakit Tropis

 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022