Paris (ANTARA News) - Krisis energi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas lantaran rapuhnya pasokan dan rantai distribusi bakal menjadi pusat perhatian pada pertemuan para menteri keuangan Kelompok Delapan Negara (G8), sehingga mengalihkan perdebatan tradisional mereka mengenai pertumbuhan ekonomi dan fluktuasi mata uang. Para menteri dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia dan Amerika Serikat (AS) yang bertemu empat sampai lima kali setahun itu bakal mengadakan koordinasi rutinnya pada 10 hingga 11 Februari 2006, di saat kekawatiran menyangkut kerentanan arus BBM global meningkat. Krisis politik di beberapa negara pemain energi utama --Ukraina, Iran, Nigeria dan Venezuela-- telah membantu mendorong harga minyak mentah hingga mendekati tingkat rekor tertingginya dalam minggu-minggu belakangan ini. Rusia, penghasil minyak terbesar kedua dunia, adalah juga anggota G8 selaku pemain penting dalam jaringan energi global. Perseteruannya dengan Ukraina terkait harga belakangan ini mengganggu pengiriman gas ke Eropa dan telah memaksa pemerintah Eropa untuk meningkatkan inisiatif diversifikasi energi. Keasyikan terkait minyak, serta ketidakhadiran para gubernur bank sentral G8 kali ini, dapat berarti akan ada sedikit tekanan kepada China supaya mengendorkan rejim mata uangnya dan membolehkan apresiasi yuan. Para mitra dagang G8 Beijing, khususnya Amerika Serikat, telah lama beralasan bahwa yuan dibawahnilaikan, oleh karena itu memberikan keuntungan tidak adil barang-barang China di pasar global. Tetapi, di Moskow masalah mata uang dan ketimpangan pertumbuhan ekonomi global bakal menjadi masalah lain yang biasanya menjadi konsentrasi pikiran para menteri G8, sehingga dimungkinkan pula akan dihadapkan dengan kekawatiran pasokan energi. Para ekonom dan pemimpin politik sepakat bahwa ekonomi global pada kenyataannya telah kewalahan menghadapi kenaikan harga minyak mentah, yang sudah lebih dari tiga kali lipat sejak awal 2002, apalagi akhir pekan lalu mendekati rekornya senilai 70,85 dolar AS per barel di perdagangan New York. Pertumbuhan ekonomi dunia cukup solid dalam dua tahun terakhir ini, dan para pakar memperkirakan akan tetap sehat pada 2006, dengan prediksi peningkatan empat persen menanggapi kinerja dinamis di Asia dan AS, serta inflasi yang lemah, demikian laporan Kantor Berita Prancis (AFP). Namun, mereka pun memperhitungkan bahwa laju yang pertumbuhan ekonomi yang kuat belum cukup untuk mengalahkan kekhawatiran masyarakat global terkait krisis energi. Menteri Ekonomi Jerman, Michael Glos, telah memperingatkan bahwa percekcokan yang berkembang menyangkut program nuklir Iran yang kini dihadapan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), "merupakan risiko baru bagi harga energi di Jerman," yang nilainya terbesar dari 12 zona ekonomi pemakai mata uang bersama Eropa (ero). Iran adalah produsen minyak kedua terbesar di dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). "Karena harga minyak dan gas terkait. maka di sana sebenarnya ada risiko ganda, dan itu yang mengawatirkan saya," ujarnya. Pemodal global, George Soros, berbicara pada Forum Ekonomi Dunia yang baru saja berakhir di Davos, Swiss, bahwa ketegangan geopolitik, pasar energi yang ketat dan kemungkinan pelambatan ekonomi AS menuju 2007 akan melemparkan awan hitam terhadap pasar keuangan tahun ini. Ia berpendapat bahwa "penurunan kuat yang tak terduga pengaruh AS di dunia" telah mengontribusikan krisis ambisi nuklir Iran, penyokong harga minyak yang tinggi. "Saya melihat krisis Iran perlahan matang, dan biasanya perkembangan politik tidak banyak mempengaruhi pasar, tapi dalam kasus ini hal itu mungkin saja," katanya. Ia mengemukakan pula, "2006 adalah tahun berbahaya sepanjang menyangkut minyak." Sekarang ini sedikit ekonom yang siap memprediksi penurunan harga minyak selama 2006. Sementara itu, Antoine Brunet selaku analis ekonomi dari Bank HSBC di Paris mengatakan, 70 dolar AS per barel dapat menjadi "harga dasar" mulai akhir 2006, dan bank-bank sentral pada saat ini punya sedikit ruang untuk bermanuver guna melindungi ekonomi negeri mereka. Di AS, ekonom Robert Brusca dari perusahaan FAO Economics mengatakan bahwa dirinya mengharapkan "sejumlah retorika agak keras" dari anggota G8, tetapi memperingatkan bahwa "masalahnya adalah mereka ini pada umumnya adalah negara-negara konsumen minyak, dan kebanyakan minyak berlokasi di negara-negara produsen yang daerahnya panas geopolitis." "Nampaknya, hal yang paling tepat adalah negara-negara konsumen dapat mengurangi konsumsi dan mempromosikan efisiensi energi," ujarnya. Ia menambahkan, "Mereka dapat menyumbang di sisi permintaan. Namun, banyak dari apa yang sedang mereka lakukan adalah menekan produsen sehingga harga tetap rendah, dan mereka dapat mengonsumsi lebih banyak lagi." (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006