Bandarlampung (ANTARA) - Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah yang kaya akan budaya dan produk lokal. Memiliki salah satu wastra tradisional yakni Tapis, telah cukup terkenal dan mampu diinovasikan menjadi beragam produk turunan.

Tak perlu memakan waktu yang cukup lama dengan perjalanan sekitar 45 kilometer dari pusat ibu kota Lampung, yaitu Kota Bandarlampung ada suatu desa yang nyaris mayoritas warganya mahir merangkai benang emas menjadi wastra tradisional Lampung.

Negeri Katon mungkin tak lagi asing di setiap telinga masyarakat Lampung sebagai desa penghasil Tapis. Dan masih tetap kokoh berdiri menghadapi terjangan perubahan zaman dengan tetap mempertahankan adat istiadat, terutama penggunaan bahasa daerah dan tetap mempertahankan kebiasaan membuat Tapis bagi setiap wanita di desanya.

Sejak tahun 1980 wanita Desa Negeri Katon memang telah menjadikan pembuatan Tapis sebagai salah satu kegiatan rutin dan biasa terjadi di setiap rumah, namun belum menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Hingga berkembangnya zaman membuat para wanita desa mulai memilih beralih melaksanakan ragam kegiatan lain yang lebih menopang asap dapur terus mengepul.

Ketakutan akan hilangnya rutinitas yang telah dilakukan turun menurun dan hilangnya kemahiran wanita desa setempat membuat Tapis Lampung, membuat Redawati, salah seorang wanita asal Negeri Katon mencoba kembali menghidupkan kegiatan membuat Tapis bagi wanita desa pada 2014 silam.

Dengan impiannya untuk mengembangkan tempat kelahirannya sebagai desa pusat budaya, membuatnya mencoba mengkoordinir wanita di desanya untuk kembali membuat kain Tapis bersama-sama hingga menelurkan merek dagang “Tapis Jejama” atau yang dapat diartikan sebagai Tapis Bersama.

Sejak tahun 1980 sudah banyak ibu-ibu desa yang membuat Tapis, tapi hanya menjadi sambilan.

"Melihat ini semakin kurang diminati, maka pada 2014 silam, saya mencoba untuk mengajak melestarikan kembali Tapis. Salah satunya dengan menjadikan kegiatan membuat Tapis sebagai mata pencaharian wanita di desa,” ujar koordinator perajin Tapis Jejama Negeri Katon Redawati.

Wanita yang masih kental berbicara dengan logat bahasa Lampung itu, dengan bersemangat mengisahkan bahwa dengan berkumpulnya para wanita desa untuk membuat Tapis secara bergotong royong telah membuahkan hasil yakni dengan adanya pembangunan gedung galeri khusus produk Tapis di desanya.

Pada tahun 2019 dari Kabupaten Pesawaran dibangun galeri Tapis di desa kami. "Di sini kami membuat Tapis bersama, memajang produk, berlatih tari Lampung, bahkan sampai mengadakan pelatihan bagi tamu yang datang. Ini jadi salah satu wujud mimpi kami di Desa Negeri Katon dari beribu mimpi yang kami miliki,” katanya.

Menurutnya, hasil produksi Tapis ratusan wanita desanya yang terbalut dalam merek dagang “Tapis Jejama” secara langsung telah membantu para wanita desa untuk mandiri, dimana penghasilan yang diperoleh dengan memproduksi Tapis secara bersama dapat mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2 juta dalam sebulan.

Melalui Tapis Jejama ini mereka bisa mendapatkan Rp1,5 juta hingga Rp2 juta dari semula hanya dihargai Rp5.000 per selendang.

Sedangkan untuk modal yang diperlukan hanya sekitar Rp120 ribu buat membeli peralatan. Karena saat ini tidak ada lagi yang membuat benang sendiri, sehingga semua benang emas beli dari pabrik.

Kini memang mimpi para wanita desa Negeri Katon mulai terwujud dengan dikenalnya karya mereka melalui produk kain Tapis ataupun produk turunannya.

Namun keinginan dan mimpi warga desa tak berhenti di situ untuk kembali memberdayakan masyarakat asli, serta menyiarkan ke seantero negeri akan keberadaan Desa Negeri Katon tak hanya desa perajin Tapis.

Namun sebagai desa pusat budaya Lampung karena masih kental dengan adat istiadat khas Lampung Sai Batin.

“Kalau di sini mau belajar Tapis, belajar tari Lampung, belajar bahasa Lampung, makan seruit bisa semua yang berbau tradisional, belajar bertani sesuai kebiasaan warga di sini sejak dahulu pun bisa,” ujar Redawati.
Perajin tapis wanita di Desa Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Lampung yang menjual produk Tapis dengan merek dagang "Tapis Jejama". ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.


Ungkapan serupa dikatakan oleh salah seorang wanita perajin lainnya, Nur.

Wanita berhijab itu mengutarakan mimpinya dengan logat Lampung yang kental untuk tetap mempertahankan warisan luhur nenek moyang kepada generasi penerus.

Wanita perajin Tapis itu dengan jari jemari lentiknya telah mahir menyelisipkan benang jahit dan benang emas kristal pabrikan ke kain tenun menjadi motif pucuk rebung dan mata kibau, mengatakan telah giat melatih anak perempuannya untuk terus melestarikan pembuatan Tapis, sehingga terjadi regenerasi hingga di masa mendatang.

“Bagaimana bisa desa kita atau Tapis Jejama bertahan dan dikenal, kalau tidak ada anak yang bisa membuat Tapis. Jadi sejak SD telah saya ajari anak untuk membuat Tapis agar tidak punah juga perajin Tapis di sini. Apalagi mereka sudah paham teknologi jadi pemasaran bisa lebih luas,” katanya.

Langkah awal memperkenalkan kepada banyak orang akan kehadiran Desa Negeri Katon kini telah mulai terbuka dengan keikutsertaan Tapis Jejama dalam gelaran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang diselenggarakan dengan mengusung jargon “Satu Bumi Juta Karya” melalui Legawi Festival.

Bukan tanpa kendala keikutsertaan produk Tapis buatan wanita Desa Negeri Katon itu, dalam gelaran yang digelorakan untuk mengangkat derajat produk lokal di mata konsumen domestik itu sempat tersendat akibat kurangnya kecakapan para wanita desa menggunakan teknologi untuk mendaftarkan diri dalam kurasi produk.

Drama kekalutan akibat hilangnya sinyal telekomunikasi, dan penuhnya memori gawai yang digunakan untuk mendaftarkan diri, sempat membuat kalut para wanita perajin Tapis, hingga saat terakhir ragam rintangan yang dapat dilalui dengan tegar dan tak putus asa tersebut menjadi suatu tangga penjejak masuknya produk buatan tangan wanita perajin Tapis dalam 30 besar hasil kurasi pada gelaran Gernas BBI.

Dengan kehadiran produk lokal yang mencirikan perjuangan wanita Lampung dalam melestarikan warisan leluhur yang adiluhung di tengah disrupsi teknologi dalam gelaran itu, tak hanya menjadi harapan akan tumbuhnya perekonomian desa.

Semua usaha itu, juga untuk memperkenalkan ragam kekayaan Provinsi Lampung melalui produk tradisional yang terbalut dengan apik menjadi produk fesyen yang terjahit rapi dan digemari masyarakat.

Harapannya agar peluh dan mimpi para perajin wanita di Negeri Katon ini tak kalah dengan produk modern ataupun buatan pabrikan yang kini menyebar di pasaran, sehingga dapat mengukuhkan desa ini sebagai pusat perajin Tapis Lampung.
Baca juga: Melirik pasar digital tingkatkan penjual produk IKM madu Lampung
Baca juga: Gernas BBI Lagawi Fest bidik peningkatan penjualan online IKM Lampung
Baca juga: Meraup ratusan juta rupiah dari renyahnya keripik kulit ikan patin

 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022