Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D mengatakan negara yang tergabung di G20 atau Group of Twenty harus bisa berperan mendorong laju vaksinasi di Benua Afrika untuk menciptakan kekebalan global.

"Capaian vaksinasi di Afrika masih jauh dari level standar, hal ini menjadi kendala untuk menciptakan kekebalan komunitas buatan secara global," kata dia di Banjarmasin, Sabtu.

Menurut Muttaqin, ada dua tindakan penting yang perlu dilakukan oleh dunia khususnya negara-negara anggota G20 dalam rangka membangun arsitektur kesehatan global. Terlebih kini jadi momentum bagus ketika Indonesia tuan rumah presidensi G20 tahun 2022 dan salah satu anggotanya Afrika Selatan.

Pertama, negara G20 jangan melakukan pelonggaran dan pencabutan protokol kesehatan COVID-19 secara terburu-buru seperti yang telah dilakukan Inggris.

Baca juga: Indonesia berinvestasi 5 juta dollar AS untuk pengembangan vaksin

Baca juga: Tuntutan masyarakat sipil dunia kepada pemimpin G20


Akibatnya kasus COVID-19 kembali melonjak. Sementara 7 dari 10 negara dengan kasus konfirmasi terbanyak dalam sepekan terakhir adalah negara anggota G20.

Kedua, munculnya varian Omicron berasal dari Afrika yang tingkat vaksinasinya masih sangat rendah.

Muttaqin menyatakan saat ini penduduk dunia yang telah menerima vaksinasi lengkap sebanyak 4,48 miliar jiwa atau 58 persen dari populasi global.

Sementara penduduk Afrika yang sudah vaksinasi dosis dua baru sebanyak 190,68 juta jiwa atau sekitar 15 persen dari jumlah penduduk benua tersebut.

"Kondisi ini sangat ironis, saat negara-negara berpendapatan tinggi telah mencapai laju vaksinasi lengkap di atas 70 persen, negara-negara miskin dan berpendapatan rendah masih jauh tertinggal," kata ekonom jebolan Universitas Birmingham Inggris itu.

Muttaqin menilai dengan infrastruktur dan SDM kesehatan yang buruk, surveilans yang lemah dan data pandemi tidak memadai maka dunia luar hanya dapat melihat lebih sedikit kasus COVID-19 di Afrika.

Tetapi berbagai faktor kelemahan tersebut dan ketertinggalan vaksinasi yang sangat jauh justru menyebabkan munculnya potensi varian-varian baru virus Corona yang berbahaya dari Afrika.

"Meskipun negara-negara maju dapat memproteksi rakyatnya dengan vaksinasi yang lebih baik, tetapi mereka tidak dapat mencegah munculnya varian baru dari wilayah yang diabaikan," katanya.

Muttaqin mengungkapkan situasi COVID-19 dunia kembali memburuk setelah mengalami penurunan. Dalam dua pekan terakhir terjadi peningkatan jumlah kasus konfirmasi positif.

Dia merujuk data Ourworldindata.org, pada periode 25 Februari sampai 3 Maret 2022 penduduk dunia yang dikonfirmasi COVID-19 sebesar 10,47 juta kasus.

Kemudian dua pekan berikutnya yaitu 4-10 Maret dan 11-17 Maret jumlah kasus meningkat masing-masing sebanyak 11,26 juta dan 12,51 juta orang.

Peningkatan kasus global tersebut didorong oleh Asia dan Eropa. Korea Selatan adalah negara yang alami pertambahan kasus paling banyak dalam satu pekan terakhir (11-17 Maret) yaitu 2,83 juta kasus baru. Kemudian Vietnam 1,91 juta kasus, Jerman 1,51 juta kasus, Perancis 511 ribu kasus, dan Inggris 548 ribu kasus.

Lima negara dengan kasus konfirmasi terbanyak tersebut merupakan negara dengan tingkat vaksinasi cukup tinggi. Capaian vaksinasi lengkap kelima negara tersebut sudah di atas 70 persen. Sementara jumlah kasus kematian di lima negara ini selama sepekan terakhir mencapai 5.420 kasus.

Adapun varian dominan yang menjadi penyebab lonjakan kembali kasus COVID-19 dunia saat ini varian turunan Omicron, yaitu BA.2.

Berdasarkan data GISAID.org yang telah dianalisis Cov-Spectrum.org, dari 100 ribu sampel hasil pemeriksaan Whole Genome Sequencing sejak awal Maret sebanyak 77 persen merupakan sub varian Omicron BA.2.*

Baca juga: Prof Hasbullah: Pendanaan pengaruhi rantai akses pasokan vaksin

Baca juga: Pandemi COVID-19 beri dampak ekonomi terbesar setelah Perang Dunia II

Pewarta: Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022