Simpati kami berada pada rakyat Palestina dan Palestina sebagai negara. Tapi politik bukan cuma simpati dan sikap pribadi,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketiganya bukan "negara besar" dengan pengaruh politik kuat, tapi Bosnia, Gabon dan Nigeria tanpa sadar menjadi "kingmaker" dalam perjuangan berat Palestina untuk memperoleh suara di Dewan Keamanan PBB agar mendukung upaya mereka menjadi anggota penuh PBB.

Ketiga negara itu menghadapi serangan diplomatik dari pemimpin Palestina di satu sisi, dan Amerika Serikat serta Israel --yang menentang masuknya Palestina ke PBB-- di pihak lain.

Washington memang telah berikrar akan memveto setiap persetujuan Dewan Keamanan mengenai keanggotaan Palestina, tapi pengumpulan suara mayoritas di dewan 15-anggota tersebut akan menjadi kemenangan moral bagi Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Malki pekan terakhir September mengatakan ia percaya "ia memiliki delapan suara di Dewan Keamanan" dan sedang berusaha memperoleh suara kesembilan, yang diperlukan bagi pengesahan satu resolusi. Jika Palestina berhasil, maka keadaan itu akan memaksa Amerika Serikat menggunakan vetonya.

Hitung-hitungan pastinya rumit, sebab Palestina sejauh ini hanya memperoleh dukungan terbuka dari enam negara --Brazil, China, India, Lebanon, Rusia dan Afrika Selatan.

Negara Eropa menyatakan mereka belum memutuskan bagaimana akan memberi suara, tapi diplomat Inggris, Kolombia, Prancis, Jerman, Portugal dan Amerika Serikat akan abstein atau menentang resolusi itu.

Akibatnya ialah hanya tinggal tersisa Bosnia, Gabon dan Nigeria sebagai "sasaran tembak diplomasi".

Al-Malki dijadwalkan bertolak ke Bosnia, tempat dewan presiden tiga-anggota di negara yang terpecah secara etnik tersebut juga terpecah dalam dukungan bagi Palestina.

Delegasi lain tingkat tinggi akan mengunjungi Gabon dan Nigeria, kata beberapa pejabat Palestina, sekalipun al-Malki mengatakan ia memiliki jaminan dari kedua negara itu bahwa mereka akan mendukung keanggotaan Palestina.

"Bayangan gelap" AS
Ketiga "kingmaker" tersebut sudah mengakui negara Palestina, tapi juga menghadapi bayangan gelap diplomatik AS.

"Amerika Serikat memiliki kemampuan politik dan ekonomi," kata seorang diplomat di Dewan Keamanan PBB, sebagaimana dilaporkan media trans-nasional.

Anggota Dewan Presiden Kroasia dan Muslim Bosnia Bakir Izetbegovic dan Zeljko Komsic diberitakan mendukung upaya Palestina, tapi anggota Serbia Bosnia Nebojsa Radmanovic menentangnya.

Suara Bosnia di PBB biasanya diputuskan berdasarkan konsensus, jadi para diplomat mengatakan perpecahan tersebut dan hubungan erat dengan Amerika Serikat dapat memaksa mereka bersikap abstein.

"Simpati kami berada pada rakyat Palestina dan Palestina sebagai negara. Tapi politik bukan cuma simpati dan sikap pribadi," kata Komsic kepada harian Dnevi Avas, Jumat (30/9).

Selama beberapa tahun telah ada satu delegasi Palestina di Gabon tapi negara itu mungkin saja abstein, kata satu sumber yang dekat dengan presiden negeri tersebut kepada AFP.

Gabon akan mendukung Palestina atau abstein, kata sumber itu.

Menteri Luar Negeri Nigeria Olugbenga Ashiru telah mengisyaratkan dukungan bagi upaya Palestina, tanpa mengatakan secara jelas bagaimana negara paling padat di Afrika itu akan memberi suara, demikian laporan media.

Separuh dari 150 juta warga Nigeria adalah Muslim dan itu adalah negara yang pada masa lalu membuat Amerika Serikat menghadapi kesulitan untuk melakukan tekanan.

Namun Nigeria berada pada posisi rumit sebagai Ketua Dewan Keamanan pada Oktober, termasuk komite keanggotaan dan pertemuan lengkap jika pemungutan suara dilakukan.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas sendiri dijadwalkan mengunjungi Portugal pekan ini dan kemudian ke Kolombia, untuk mendesak pemerintah kedua negara itu agar mendukung upaya Palestina, sekalipun ia tahu keberhasilannya hanya akan mengundang hak veto AS.

Tidak seperti kebanyakan negara Amerika Latin, Kolombia mempertahankan sikap bahwa negara Palestina hanya akan diakui melalui penyelesaian yang dirundingkan dengan Israel. Negara itu telah mengatakan akan abstein dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan.

Amerika Serikat dan Israel menentang keanggotaan Palestina sebab kedua negara bersekutu erat tersebut menyatakan "harus ada kesepakatan melalui perundingan langsung Palestina-Israel sebelum satu negara dapat diciptakan".

Presiden AS Barack Obama bahkan membuat dia dijuluki sebagai "Presiden Yahudi Pertama", karena begitu kuat dukungannya buat negara Yahudi.

Dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB pada 21 September,

Obama mengatakan ia "frustrasi" dengan sejumlah penundaan dalam proses perdamaian. Tapi ia tetap percaya bahwa sengketa tersebut "harus diselesaikan lewat perundingan antara Israel dan Palestina", dan bukan di PBB.

Presiden Amerika itu berbicara panjang lebar mengenai kemerdekaan dan kebebasan di Sudan Selatan, Pantai Gading, Tunisia, Mesir dan Libya --melalui Arab Spring. Tapi tak satu patah kata pun dilontarkannya mengenai hak kebebasan atau penderitaan orang Palestina.

Abbas salah perhitungan?
David Makovsky, direktur proyek proses perdamaian Timur Tengah di Washington Institute for Near East Policy, satu kelompok pemikir, sebagaimana dilaporkan AFP, mengatakan Abbas telah "salah memperhitungkan" sikap anggota Dewan Keamanan.

Kendati sambutan meriah memang diberikan saat Abbas berpidato di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September, upayanya untuk mengantungi persetujuan di Dewan Keamanan PBB mulai kehilangan momentum, kata Makovsky.

Kegagalan untuk memperoleh suara, atau menghadapi veto, akan mendorong Abbas ke Rencana B --tindakan untuk memperoleh status negara pengamat melalui pemungutan suara di Sidang Majelis Umum, yang memiliki 193 anggota. Di sana, ia dapat mengandalkan dukungan mayoritas besar dan tak ada veto yang bisa digunakan.

"Selama lebih dari satu tahun, kami telah membahas masalah ini dan mempertimbangkannya dengan sangat teliti," kata Abbas dalam satu wawancara pekan lalu dengan Christian Science Monitor.

"Amerika Serikat, pusat demokrasi, akan melakukan kesalahan terhadap rakyat Palestina, jika negara itu menolak hak mereka untuk merdeka dan hak untuk memutuskan nasib sendiri. Amerika Serikat akan memikul tanggung jawab atas tindakannya sendiri," kata Abbas.

Sementara itu dalam wawancara dengan stasiun TV Mesir, Al-Hayat, yang disiarkan Sabtu (1/10), Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengatakan Palestina "perlu memperlihatkan keluwesan dan kembali ke meja perundingan".

Ketika menghadapi pertanyaan tentang masalah Palestina untuk memperoleh pengakuan penuh di PBB, dilomat senior AS tersebut tampaknya berusaha meremehkan pentingnya upaya yang sedang dilancarkan, sementara Washington menentangnya dan telah mengancam akan menggunakan hak veto.

Hillary menyatakan keprihatinan AS "bukan lah mengenai apa yang terjadi atau tidak terjadi di sana, tapi perlunya perundingan untuk melanjutkan kemajuan nyata akan dibuat".

Masalahnya ialah perundingan perdamaian langsung Palestina-Israel macet sejak Oktober 2010, saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak bersedia memperpanjang moratorium tentang pembekuan pembangunan permukiman Yahudi.

"Presiden (Barack) Obama dan saya `sangat ingin melihat negara Palestina`, dan saya secara terbuka telah menyampaikan dukungan untuk itu sejak 1990-an," kata Hillary dalam transkrip wawancara yang disiarkan oleh Departemen Luar Negeri AS.

Ia juga menyatakan bahwa mereka "tak ingin melihat tindakan provokatif. Kami telah mengatakan itu mengenai pengumuman baru-baru ini dari pemerintah Israel, tapi kami juga mau Palestina harus bersedia berunding".

Israel baru-baru ini mengumumkan akan membangun 1.100 rumah di Gilo, yang dikatakannya "berada di Jerusalem tengah, bukan di Jerusalem Timur", sehingga itu "bukan berada di permukiman".

"Gilo bukan permukiman, bukan pula pos terdepan permukiman. Itu adalah lingkungan yang merupakan bagian integral dari Jerusalem tengah," kata seorang pejabat senior Israel pada Rabu (28/9), sebagaimana diberitakan media transnasional.

Kementerian Dalam Negeri Israel pada Selasa (28/9) mensahkan rencana tersebut sehingga mengundang reaksi keras dari Palestina dan sejumlah pengutukan dari China, termasuk dari sekutu dan pendukung kuatnya sendiri, Amerika Serikat.

Sebagian besar daerah Gilo dilaporkan berada di Jerusalem Timur, milik Arab, yang direbut Israel bersama Tepi Barat Sungai Jordan dari Jordania selama Perang Enam Hari 1967 dan belakangan dicaploknya, tindakan yang tak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Sementara itu, Kuartet diplomatik mengenai Timur Tengah --Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan PBB-- telah meluncurkan upaya baru bagi dilanjutkannya perundingan langsung dengan jadwal tegas bagi dicapainya kesepakatan.

Namun baru beberapa hari setelah Abbas mengajukan permohonan sebagai anggota penuh ke Sidang Majelis Umum PBB dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu "menyampaikan kesiapan untuk berunding", perbedaan dasar keduanya sudah terlihat jelas.

Abbas, Ahad (25/9), mengesampingkan pembicaraan baru tanpa "penghentian total" pembangunan permukiman Israel.

"Takkan ada perundingan tanpa keabsahan internasional dan penghentian total (pembangunan) permukiman," kata Abbas di hadapan massa yang menyambut ucapannya di markas Abbas di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, sekembalinya dari PBB.

Sementara itu Netanyahu pada hari yang sama mengatakan Abbas mesti setuju untuk berbicara tanpa prasyarat "untuk mewujudkan persetujuan perdamaian yang telah lama tertunda".

"Palestina mengingini negara, tapi mereka harus memberi perdamaian sebagai imbalannya. Apa yang mereka upayakan di PBB ialah memperoleh negara, tanpa ... memberi Israel perdamaian dan keamanan," kata Netanyahu dalam program stasiun TV NBC "Meet the Press", sebagaimana dikutip AFP dari Washington.

Netanyahu bahkan menasehati Abbas jika Abbas "ingin memperoleh perdamaian, sisihkan semua persyaratan anda".

Tapi seorang perunding senior Palestina menyerang-balik dan mengatakan Netanyahu lah yang telah mengajukan prasyarat yang tak bisa diterima mengenai pembicaraan perdamaian.

"Israel ingin mencaplok Jerusalem. Israel ingin menghilangkan masalah pengungsi dari agenda. Israel ingin ... semuanya dan ingin mencaplok semua kelompok permukiman lalu berkata, `Mari lah kita bicara`," itu lah komentar perunding Palestina Hanan Ashrawi dalam acara tayang bincang ABC "This Week", pada September.
(C003)

Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011