Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat untuk saling menghormati soal kemungkinan penetapan awal Ramadhan 1443 Hijriah yang berbeda antara pemerintah dan Muhammadiyah.

"Perbedaan itu sunnatullah, suatu keniscahyaan. Wong kita juga berbeda-beda. Jangan timbul sikap melecehkan, mengejek, apalagi fitnah," ujar Sekjen MUI Amirsyah Tambunan dalam diskusi daring FMB9 yang diikuti dari Jakarta, Senin.

Amirsyah mengatakan ada perbedaan penentuan awal bulan Hijriah. Ada yang memakai metode hisab (penghitungan secara astronomis posisi bulan) dan metode rukyat (pengamatan visibilitas hilal).

Namun, kata dia, kedua metode tersebut sebenarnya satu kesatuan, karena baik hisab maupun rukyat saling mengonfirmasi dalam menentukan awal bulan Hijriah.

Baca juga: Peneliti: Perbedaan Idulfitri karena beda kriteria ketinggian bulan

Baca juga: Kemenag: Hilal belum terlihat di Aceh


"Mengapa terjadi perbedaan? Karena ada perbedaan sudut pandang melihat. Maksud melihat itu sebenarnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan hanya dengan kepala langsung tapi menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kajian ilmiah," kata dia.

Maka dari itu, ia meminta perbedaan harus membuat umat Muslim di Indonesia saling tenggang rasa, toleran, dan saling menghormati.

Sebelumnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengumumkan 1 Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada Sabtu, 2 April 2022, berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Sementara 1 Syawal 1443 Hijriah akan jatuh pada Senin 2 Mei 2022. Pada Sabtu 29 Ramadhan atau 30 April 2022, ijtimak jelang Syawal 1443 Hijriah belum terlihat.

Anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriah Indonesia Kementerian Agama Thomas Djamaluddin mengatakan awal Ramadhan dan Idul Fitri 1443 Hijriah/2022 Masehi berpotensi berbeda antara Muhammadiyah dengan pemerintah.

Perbedaan itu karena adanya pedoman baru dari kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang ditetapkan pada 2021.

"Kalau masih menggunakan kriteria lama ini di bagian barat wilayah Indonesia, ini 1 April masih 2 derajat, kalau kriteria lama ada potensi dengan wujudul hilal, tapi kalau lihat garis ini ada potensi perbedaan," ujar Thomas.

Dia mengatakan apabila menggunakan aturan baru dari MABIMS berupa tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat, wilayah Indonesia, Asia Tenggara, dan Arab Saudi belum memenuhi. Sehingga, tidak mungkin terjadi rukyat.*

Baca juga: Tim Hisab dan Rukyat Papua tak melihat hilal di Jayapura

Baca juga: BMKG tak melihat hilal karena hujan deras

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022