Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati merekomendasikan pemerintah dan Panitia Kerja membahas perubahan Pasal 11 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) agar restitusi menjadi hak korban kekerasan seksual, bukan pidana.

“ICJR merekomendasikan perubahan Pasal 11 RUU TPKS mengenai restitusi bahwa restitusi bukan sebagai pidana tambahan ataupun pidana pokok, serta restitusi tidak dapat dibatasi dengan ancaman pidana,” kata Maidina dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

RUU Baleg dalam Pasal 11 menjelaskan bahwa restitusi sebagai pidana tambahan, sedangkan Pasal 14 DIM Pemerintah menyatakan restitusi sebagai kewajiban yang perlu ditetapkan hakim untuk tindak pidana yang diancam 5 tahun atau lebih.

Baca juga: ICJR sarankan penerapan dana talangan pada pembahasan RUU TPKS

Menurut Maidina, kedua draf tersebut harus dikoreksi. Restitusi sebagai ganti kerugian kepada korban bukan merupakan pidana tambahan dan juga tidak dapat dibatasi berdasarkan ancaman pidana.

“Restitusi harus diberikan peluang untuk diberikan pada semua jenis tindak pidana kekerasan seksual, tidak bergantung pada ancaman pidana,” ucapnya.

Resitusi juga bukan sebagai bentuk pidana pokok atau pidana tambahan, namun adalah hak korban dan respon terhadap adanya kerugian korban.

Jika diatur sebagai pidana tambahan, maka akan berbenturan dengan ketentuan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang adanya pidana tambahan jika pidana seumur hidup atau pidana maksimal lain diberlakukan, hal yang menjadi masalah dalam putusan HW di Pengadilan Negeri Bandung.

Baca juga: ICJR: Cabut Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan atur KBGO di RUU TPKS

“Sehingga hakim membebankan restitusi ke Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, red.). Maka, restitusi harus diatur sebagai bagian hak korban, bukan pidana,” ucap dia.

Hal lain yang teramat penting adalah dalam konteks mekanisme juga diatur kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk menginformasikan hak restitusi pada korban. Serta tidak dapat dibatasi dengan ancaman pidana.

Dengan demikian, korban kekerasan seksual akan memperoleh kepastian hukum dan jaminan menerima hak yang berupa ganti kerugian terhadap korban.

Baca juga: Kurang dari 300 kasus kekerasan seksual berlanjut di pengadilan

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022