Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membidangi persoalan Hak Asasi Manusia, Imparsial, menilai UU Intelijen Negara yang telah disahkan oleh DPR melalui rapat paripurna masih jauh dari harapan penegakan HAM.

"RUU Intelejen yang disahkan menjadi UU oleh DPR pada Selasa ini meninggalkan banyak permasalahan. UU ini jauh dari harapan untuk menjadikan intelijen kita sebagai intelijen reformis," kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, 19 materi yang dinilai berpotensi melanggar hukum dan HAM di antaranya adalah RUU Intelijen masih setengah hati mengakomodasi persoalan HAM, masih definisi yang multitafsir, seperti definisi intelijen yang tak jelas.

Selain itu, subjektivitasnya masih sangat tinggi dan yang paling mengkhawatirkan adalah masih dicantumkannya fungsi pendalaman intelijen dan pelibatan intelijen dalam penyidikan.

Poengky berpendapat pemberian kewenangan pada intelijen untuk melakukan "penggalian informasi" bekerja sama dengan aparat hukum sebagai ganti dari istilah "interogasi" akan merusak "Criminal Justice System" karena melanggar KUHAP dan HAM.

Judicial review

Imparsial dan sejumlah LSM pemerhati HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil terkait pengesahan RUU Intelijen Negara menjadi UU itu, akan mengajukan "Judicial Review" (peninjauan kembali) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kami akan menyiapkan materi `Judicial Review` terkait pasal yang berpotensi melanggar HAM," ujar Poengky, menegaskan.

Sebelumnya, rapat paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa, sepakat mengesahkan RUU tentang Intelijen Negara menjadi Undang-Undang.

Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso itu, seluruh fraksi yang ada di DPR menyatakan persetujuannya atas pengesahan RUU Intelijen Negara menjadi Undang-Undang.

Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita yang menyampaikan hasil pembahasan RUU tersebut di Komisi I menyatakan, RUU Intelijen Negara yang juga merupakan usul inisiatif DPR dalam Prolegnas 2010-2014 merupakan upaya memberikan payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan intelijen di Indonesia.

Dengan disahkannya RUU Intelijen Negara menjadi UU maka institusi intelijen negara harus melakukan berbagai penyesuaian diri, diantaranya perubahan atas visi, misi, paradigma, azas dan doktrin intelijen dalam menghadapi dinamika yang terjadi.

"Untuk itulah diperlukan adanya payung hukum yang memberikan jaminan terhadap keseluruhan aktivitas intelijen negara, menjadikan intelijen negara yang profesional, tetapi juga senantiasa mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan atas HAM sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja intelijen negara kepada masyarakat," papar Agus.

Sementara itu, Menkum HAM Patrialis Akbar mengatakan bahwa pengesahan RUU Intelijen Negara menjadi UU itu akan menjadi instrumen penting bagi penyelenggaraan intelijen negara melalui deteksi dini dan proteksi atas berbagai ancaman kepada negara serta masyarakat.

Ditegaskannya bahwa ancaman saat ini sudah semakin kompleks dan asimetris dengan perkembangan teknologi informasi. Untuk itu, diperlukan institusi intelijen yang profesional serta perlu adanya penguatan kewenangan yang dibutuhkan.

Namun demikian, ia menambahkan, kewenangan kepada BIN tetap dibatasi melalui rambu perundang-undangan berikut sanksi yang berat atas pelanggaran yang dilakukan.

"Pemerintah tetap berupaya mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang setuju maupun tidak melalui perumusan substansi yang akhirnya bisa disepakati bersama antara DPR dan pemerintah," ujarnya seraya menambahkan bahwa UU ini akan jadi landasan bagi operasional intelijen yang profesional, independen dan obyektif.

(S037/C004)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011