Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung (Kejagung) belum melibatkan tim penyidik ad hoc untuk terlibat dalam penyidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Paniai, Papua, kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah di Jakarta, Kamis.

"Saya rasa belum (perlu) penyidik ad hoc. Ini kan masih berjalan juga," kata Febrie Adriansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Kejagung berkeyakinan dapat menuntaskan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai pada tahun 2014 tersebut dengan tim penyidik yang sudah dibentuk Korps Adhyaksa.

Menurut Febrie, hingga kini tim jaksa penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat Jampidsus masih melakukan penyidikan, dengan memeriksa sejumlah saksi, termasuk saksi ahli, guna menemukan alat bukti untuk pembuktian di persidangan.

Pelanggaran HAM berat tahun 2014 di Paniai, Papua, disangkakan melanggar Pasal 42 ayat 1 jo. Pasal 9 huruf a, h jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dia mengatakan tim jaksa penyidik belum menemukan kendala di lapangan dalam upaya mencari bukti, sehingga belum memerlukan peran penyidik ad hoc, sebagaimana disarankan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Baca juga: KontraS usulkan Kejagung libatkan sipil dalam tim penyidik Paniai

"Sampai saat ini jaksa penyidik juga enggak ada kesulitan lah ya. Masih lancar lah ya. Kan itu (hasil penyidikan) nanti juga terbuka kan," tukasnya.

Dia juga memastikan, dalam penyidikan kasus tersebut, jaksa penyidik membangun komunikasi dengan semua pihak, termasuk korban, terkait pendampingan advokasi.

"Beberapa kali penyidik ke Paniai, pemeriksaan di Kejati. Saya rasa ada lah (komunikasi), dalam proses pasti ada juga," tambahnya.

Terkait perkembangan penanganan kasus tersebut, Febrie mengatakan penyidik masih mengumpulkan alat bukti, memeriksa saksi, serta melengkapi berkas, guna keperluan ekspose perkara yang ditargetkan awal bulan depan.

"Kami masih mengumpulkan alat bukti, terutama saksi. Kan ada penundaan-penundaan (pemeriksaan saksi) tuh, jadi buat kelengkapan itu. Tapi memang ekspose di awal bulan (April), kan pengajuannya ke kami. Kami liat eksposenya, ada beberapa yang harus dilengkapi lah," jelasnya.

Sementara itu, Rabu (30/3), penyidik memeriksa dua orang saksi berinisial IW dan HW terkait dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai. Sebelumnya, Selasa (29/3), penyidik juga memeriksa dua orang saksi berinisial MMJ dan HH. Kemudian, Kamis (24/3), penyidik memeriksa seorang saksi berinisial H dan Senin (21/3) memeriksa satu saksi berinisial PW.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan hingga Jumat (25/3) Tim Jaksa Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat Jampidsus telah melakukan pemeriksaan terhadap 61 orang saksi.

Adapaun 61 orang saksi tersebut terdiri atas enam orang saksi ahli, yang mengambil visum korban dari RSUD Paniai (ahli forensik), ahli balistik pengujian senjata api, ahli hukum humaniter, ahli HAM berat, ahli legal forensik, dan ahli hukum militer.

"Kemudian 55 orang saksi yang diperiksa, yaitu delapan orang dari unsur masyarakat sipil, 24 orang dari unsur TNI, 17 orang dari unsur Polri, dan enam orang dari unsur tim investigasi bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan," kata Ketut.

Dia menambahkan, berdasarkan hasil ekspose yang telah dilakukan, Tim Jaksa Penyidik akan segera menentukan tersangka pada awal bulan April 2022.

Peristiwa Paniai tersebut merupakan satu dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komisi Nasional (Komnas) HAM.

Menkopolhukam Mahfud MD menyebutkan sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc atas usul DPR.

Tiga kasus pelanggaran HAM berat, selain di Paniai, yang terjadi setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut masih terus dipelajari, yakni Peristiwa Wasior (2001), Peristiwa Wamena (2003), dan Peristiwa Jambo Keupok (2003).

Baca juga: 40 saksi diperiksa terkait pelanggaran HAM Berat Paniai
 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022