Jakarta (ANTARA News) - Berbagai elemen masyarakat jangan reaktif tetapi pemerintah diminta aktif menjelaskan kepada rakyat tentang perkembangan perundingan sengketa perbatasan dengan Malaysia guna menghindari kesalahfahaman publik, kata seorang tokoh Pemuda Muhammadiyah.

"Kalau ada masalah seperti sengketa perbatasan di daerah Kalimantan Barat, semua pihak, baik di Indonesia maupun Malaysia, harus menahan diri," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh P. Daulay di Jakarta, Rabu, menanggapi isu batas wilayah kedua negara.

Sikap menahan diri dan kemauan mencari tahu duduk masalah yang sebenarnya di tingkat rakyat itu harus diimbangi dengan klarifikasi dan penjelasan pemerintah tentang proses perundingan sehingga publik menerima informasi yang lengkap, katanya.

Penjelasan pemerintah itu, menurut Daulay, juga akan membantu publik terhindar dari memberikan penafsirannya sendiri terhadap masalah perbatasan karena berbagai pihak di Malaysia pun tidak ingin berkonflik dengan Indonesia.

Daulay mengatakan, kalangan tertentu yang menggelar aksi demonstrasi menanggapi laporan media tentang pemindahan patok perbatasan di daerah Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sebaiknya juga mencari informasi yang akurat tentang masalah ini.

Dengan begitu, hubungan kedua bangsa bertetangga yang memiliki ikatan sejarah, sosial dan budaya yang dekat ini tidak terancam setiap kali ada masalah terkait dengan sengketa wilayah, katanya.

Berbagai masalah yang muncul dalam perjalanan hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia sedapat mungkin diselesaikan melalui jalan damai dan dialog atas dasar persahabatan panjang kedua bangsa, kata Daulay.

Hubungan RI-Malaysia kembali diuji setelah media massa di Tanah Air menyoroti apa yang disebut klaim Malaysia atas wilayah di Camar Bulan seluas 1.449 hektar dan Tanjung Datu seluas 8.000 meter persegi.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin meminta Pemerintah RI bersikap tegas atas sengketa perbatasan dengan Malaysia itu.

"Pemerintah Indonesia harus mempertahankan wilayahnya, jangan sampai dicaplok Malaysia walaupun hanya satu meter persegi," kata Hasanuddin Senin (10/10).

Puluhan mahasiswa Universitas Tanjungpura dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak berunjuk rasa, Selasa (11/10), mendesak Pemerintah RI segera menyelesaikan masalah batas wilayah dengan Malaysia.


Reaksi Negeri Jiran

Isu pemindahan patok perbatasan di daerah Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat, ini ditanggapi Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Sri Anifah.

Menlu Anifah seperti dikutip kantor berita Malaysia, Bernama, mengatakan, persoalan patok perbatasan itu "bukan isu pokoknya karena koordinat batas tanah sudah disepakati sebelumnya oleh kedua negara."

"Itu bukan isu yang perlu dikhawatirkan. Hal seperti itu bisa terjadi ... tapal batas dipindahkan oleh individu yang tak bertanggung jawab. Jika itu memang terjadi, kita bisa mengatasi persoalannya dengan cara bersahabat," katanya.

Menlu RI Marty Natalegawa di sela rapat kerjanya dengan Komisi VIII DPR RI di Jakarta, Selasa, juga telah mengklarifikasi wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Barat itu.

Menurut Marty, seperti sudah dijelaskan Menko Polhukam, Djoko Suyanto, bahwa ada pergeseran patok perbatasan karena abrasi.

Kesimpulan itu dicapai pada pertemuan dengan tim survei lapangan pada Agustus lalu, yang menyimpulkan terjadi kerusakan dan pergeseran patok karena abrasi, katanya.

Sebelumnya, tim survei lapangan telah melakukan survei pada Maret 2011 dan hasilnya dilaporkan dalam pertemuan Agustus 2011.

"Di wilayah perbatasan itu ada dua patok, satu patok bergeser serta satu patok lainnya rusak karena abrasi," kata Marty.

Untuk memperbaiki kedua patok itu, ada sistem dan mekanismenya. Tim survei lapangan bersama RI dan tim Malaysia bisa ke lapangan lagi untuk memperbaiki patok yang bergeser dan rusak karena abrasi tersebut, katanya.

Kalaupun ada pergeseran, patok itu bisa dikembalikan ke posisi semula karena titik koordinatnya sudah ada, kata Menlu Marty.
(T.R013/M016)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011