Palembang (ANTARA) - Minyak solar subsidi kini menjadi buruan para supir truk pengangkut batu bara, minyak sawit hingga hasil perkebunan lainnya di sejumlah provinsi Sumatera.

Selisih harganya yang relatif jauh menjadi penyebab utama mengapa para supir ini rela mengantre hingga berjam-jam untuk memastikan tangki kendaraan terisi penuh.

Harga solar subsidi saat ini adalah Rp5.150/liter, sementara solar non subsidi (Dexlite) harganya Rp12.950/liter.

Tentunya dibutuhkan kiat khusus, mengingat untuk membeli minyak subsidi ini memiliki sejumlah aturan. Namun, kenyataan toh mereka berhasil juga.

Hafiz, supir truk batu bara dengan menggunakan nomor polisi Provinsi Lampung yang dijumpai di SPBU 24.361.38, Jambi, mengatakan, dirinya harus mengantre lima hingga enam jam untuk mendapatkan minyak solar subsidi.

Dengan menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik kendaraan, ia kebagian tugas untuk mengangkut batu bara dari pusat penambangan di Kabupaten Sarolangun ke Pelabuhan Talang Duku (137 Kilometer) yang menjadi gerbang ekspor Jambi.

Sejauh ini, sejumlah perusahaan tambang batu bara diketahui berdiri di kawasan sebelah barat Provinsi Jambi itu.

Untuk satu kali perjalanan, Hafiz setidaknya dibutuhkan 60 liter minyak solar sehingga untuk pulang-pergi (pp) 120 liter. Tentunya dibutuhkan kiat khusus untuk mendapatkannya.

Salah satunya, dengan berburu ke sejumlah SPBU, bahkan tak jarang ia masuk hingga ke dalam Kota Jambi. Meski, harus menunggu hingga berjam-jam tapi hal itu terpaksa dilakukan demi menaikkan margin.

Dengan kapasitas truk mencapai 10 ton, ia terkadang harus mengantre di dua hingga tiga SPBU karena ada sejumlah SPBU yang sudah menjatahi pembelian solar subsidi.

“Sejak ramai-ramai antre ini, dari Sarolangun ke Talang Duku bisa satu hari satu malam habis waktu saya di jalan. Lihat saja ini, saya sudah di sini dari jam 06.00 pagi tapi sudah jam 11.00 WIB masih belum dapat juga (solar),” kata Hafiz.

Lantaran lamanya mengantre di SPBU ini, membuat ia hanya bisa melakukan 12 trip dalam satu bulan, yang mana setiap satu kali trip mengangkut batu bara dari Sarolangun ke Talang Duku mendapatkan keuntungan bersih Rp300.000.

Juhari, supir truk batu bara yang dijumpai di SPBU 24.361. 54 Kota Jambi, mengatakan dirinya juga melakukan hal yang sama untuk mendapatkan BBM bersubsidi itu.

Ia yang berasal dari Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan menerabas ke provinsi tetangga Jambi untuk memanfaatkan momen boombing komoditas batu bara ini yang sudah terjadi sejak pertengahan tahun lalu.

“Saya dari Kecamatan Mandiangin (Kabupaten Salorangun, Jambi) biasanya pukul tiga sore, nanti sampai Pelabuhan Talang Duku pada jam dua pagi. Kemudian lanjut nunggu SPBU dari jam 4 pagi, karena baru buka jam 7 pagi. Totalnya bisa enam jam baru dapat minyak solar,” kata Juhari.

Lantaran kesulitan mendapatkan minyak solar subsidi, maka tak ada cara lain dari Juhari selain mengisi penuh tangki kendaraannya.

Walau terkadang masih ada sisa separuh, tapi tetap saja Juhari mengantre untuk menambah pasokan solar.

“Ada perasaan takut juga, takut kehabisan minyak karena kendaraan yang antre banyak sekali. Ya tiap hari harus antre, supaya dapat,” kata dia.

Walhasil antrean kendaraan truk-truk pengangkut mengular hingga ke badan jalan. Kondisi ini membuat lalu lintas di Kota Jambi menjadi semeraut sehingga kemacetan pun tak terelakkan.

Bahkan di beberapa lokasi terjadi kecelakaan lalu lintas. Jalan-jalan yang semula dua lajur menjadi menyempit sehingga tersisa hanya satu lajur. Kemacetan pun merangsek hingga ke dalam kota.

“Bosan dengan kemacetan lalu lintas akibat truk-truk ini. Sudah lama terjadi sejak akhir tahun lalu, sekarang tambah parah,” kata Adi, salah seorang warga Jambi.

Bahkan, dari ceritanya diketahui bahwa pernah terjadi kemacetan total di Kecamatan Muaratembesi, Kabupaten Batanghari lantaran ada kerusakan truk angkutan batu bara di dua lajur berbeda sekaligus. Kondisi ini membuat lalu lintas terhenti total dari pukul 20.00 WIB hingga 06.00 WIB.

Ia pun berharap pemerintah segera menemukan solusi atas persoalan ini karena telah menganggu aktivitas masyarakat Jambi, seperti membuat jalan khusus batu bara.

Kapolda Jambi A Rachmad Wibowo mengatakan adanya kenaikan harga batu bara telah memacu peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat Jambi. Kondisi ini membuat kendaraan truk pengangkut batu bara banyak yang berseliweran di jalan sejak pertengahan tahun lalu.

“Malahan kami mendapati data, bahwa banyak warga yang bekerja sama dengan perusahaan untuk meminjam uang di bank. Mereka memberi truk pengangkut, lalu hasil (keuntungan) dibagi dua,” kata dia.

Saat ini pihaknya berupaya mengawal penerapan aturan pemerintah terkait minyak solar subsidi.

Kemacetan lalu lintas yang semakin parah ini membuat wali kota setempat mengeluarkan instruksi Wali Kota Jambi Nomor 08/INS/IV/HKU/2022,

Dalam instruksi itu ditetapkan aturan baru terkait pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk truk pengangkut batu bara, CPO dan hasil perkebunan lainnya yang hanya boleh dilakukan pengisian solar di lima SPBU di wilayah setempat mulai 1 April 2022.

Lima SPBU itu yakni SPBU Pal 10, Talang Bakung, Simpang Gado Gado, Lingkar Selatan dan Bagan Pete diketahui berada di jalur logistik dari kawasan barat Jambi (pusat pertambangan) menuju Pelabuhan Talang Duku.

Wali Kota Jambi, Syarif Fasha di Jambi, Kamis mengatakan, kebijakan tersebut diambil untuk mencegah munculnya sumber kemacetan di tengah kota.

SPBU ini juga diwajibkan menerapkan aturan pembatasan pembelian solar untuk angkutan batu bara, CPO dan hasil perkebunan lainnya, yakni maksimal sebanyak 40 liter. Kemudian juga diharuskan melayani pembeli selama 24 jam.

Selanjutnya, khusus kendaraan roda enam atau lebih yang memuat angkutan barang kebutuhan pokok atau esensial dapat dilakukan pengisian bahan bakar solar di setiap SPBU di wilayah Kota Jambi dengan menunjukkan surat jalan yang dikeluarkan pengelola.

Tambah pasokan

Terkait ini, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati saat mengunjungi salah satu SPBU itu di Jambi, Sabtu (2/4), mengatakan pihaknya siap menambah pasokan hingga dua kali lipat di SPBU yang ditetapkan tersebut.

Selain itu, juga menambah dispenser dan nozzle untuk mempercepat proses pengisian agar dapat mengurangi antrean kendaraan.

Kemudian, Pertamina juga menyiagakan sebanyak 15 unit mobil tangki SPBU Mobile dengan kapasitas mulai dari 5.000 Kiloliter (Kl) hingga 16.000 Kl.

“Kami siapkan 15 mobil tangki dan mulai hari ini sudah dimobilisasi lima mobil. Mengenai titik-titiknya kami akan berkoordinasi dengan Ditlantas Polda Jambi,” kata Nicke.

Ia menilai adanya lonjakan permintaan terhadap BBM solar bersubsidi ini dipengaruhi oleh peningkatan ekonomi di Jambi.

Kondisi ini sebenarnya patut disyukuri sehingga Pertamina harus melakukan langkah-langkah antisipasi agar kebutuhan tetap terpenuhi.
Apalagi, saat ini, penggunaan kuota BBM solar bersubsidi di Jambi sudah melampaui.
Dirut Pertamina Nicke Widyawati (kanan) didampingi Kapolda Jambi Irjen Pol A Rachmad Wibowo berbincang dengan supir truk angkutan batu bara di SPBU 24.361.38, Jambi, Sabtu (2/4/2022). (ANTARA/Dolly Rosana)


Oleh karena itu, Pertamina mengapresiasi langkah yang diambil Pemerintah Kota Jambi yang memutuskan hanya lima SPBU yang boleh melayani truk-truk pengangkut batu bara per 1 April 2022.

Terkait dengan tingginya permintaan terhadap solar bersubsidi ini, Nicke mengatakan Pertamina berharap agar subsidi ini lebih tepat sasaran karena nilai subsidi pemerintah mencapai Rp7.800 per liter.

Oleh karena itu, pihaknya meminta dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk aktif melaporkan ke Kepolisian jika terjadi penyalahgunaan solar subsidi ini.

Sebagaimana UU telah mengatur bahwa BBM solar subsidi itu diperuntukkan bagi industri kecil, sementara truk-truk pengangkut batu bara itu dinilai tergolong industri besar.

Namun, Nicke menilai, perlu ada aturan lain yang mempertegasnya.

“UU itu tidak memperbolehkannya (kendaraan roda enam) karena ini industri besar. Ke depan, kami mengharapkan ada aturan lain yang menetapkan bisnis apa yang boleh mendapatkan solar subsidi,” kata dia.

Harga solar subsidi saat ini adalah Rp 5.150/liter, sementara solar non subsidi (Dexlite) harganya Rp 12.950/liter. Jadi ada subsidi Rp 7.800 dalam setiap liter solar subsidi yang dijual. Sementara dalam APBN 2022, pemerintah hanya menetapkan subsidi solar Rp 500/liter. Alhasil, Pertamina harus nombok besar.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyatakan pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu tegas dalam memberikan sanksi kepada berbagai kendaraan pengguna solar subsidi milik sejumlah industri yang sebenarnya tidak berhak memperoleh solar subsidi tersebut.

"Sekarang ini juga dilaporkan maraknya penggunaan solar bersubsidi oleh kendaraan pengangkut sawit maupun pertambangan yang semestinya tidak berhak," kata Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Terkait kelangkaan solar di beberapa daerah, Mulyanto meminta Pertamina dan BPH Migas melibatkan pihak kepolisian untuk mencari akar masalahnya serta menjalankan tindakan konkret di lapangan.

Mulyanto menengarai ada beberapa penyebab peningkatan permintaan solar ini. Pertama adalah ekonomi yang mulai membaik dan mendorong pertumbuhan industri, yang memicu peningkatan kebutuhan energi termasuk solar.

Kemudian, lanjutnya, adalah disparitas atau ketimpangan harga yang cukup tinggi antara solar subsidi dan nonsubsidi, akibat lonjakan harga migas dunia, menyebabkan pengguna solar nonsubsidi beralih menggunakan solar subsidi.

“Kemudian yang juga patut diduga adalah adanya penyimpangan penggunaan solar bersubsidi oleh pihak yang tidak berhak, terutama sektor industri,” ujar Mulyanto.

Mulyanto menegaskan disparitas harga antara solar subsidi dan solar nonsubsidi mencapai sebesar Rp 7.800 per liter. Angka ini cukup besar dan menjadi daya tarik yang tinggi bagi oknum-oknum pencari rente ekonomi secara menyimpang. Akibatnya, ujar dia, yang dirugikan adalah masyarakat yang membutuhkan solar subsidi.

Sementara itu, mengacu pada Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014, pengguna yang berhak atas solar subsidi untuk sektor transportasi adalah kendaraan bermotor plat hitam untuk pengangkut orang atau barang, kendaraan bermotor plat kuning kecuali mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari enam.

Lalu, kendaraan layanan umum (ambulans, pemadam kebakaran, pengangkut sampah), kapal angkutan umum berbendera Indonesia, kapal perintis, serta kereta api penumpang umum dan barang.

Pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Isni Andriana menilai subsidi minyak solar yang diberikan pemerintah ke rakyat saat ini implementasinya sudah tidak tepat sasaran.

Minyak subsidi ini yang awalnya digelontorkan untuk membantu para pelaku usaha kecil kini faktanya digunakan oleh oknum para pelaku industri besar.

“Kondisi ini jelas memprihatinkan, ada baiknya pemerintah mulai mempertimbangkan kembali mengenai pemberian subsidi tertutup agar lebih tepat sasaran,” kata dosen Fakultas Ekonomi Unsri ini.

Para penerima subsidi yakni pelaku usaha kecil mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk kompensasi langsung (bantuan tunai), kata dia.

Adanya pertumbuhan positif ekonomi nasional yang mampu menembus angka di atas 5 persen telah berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan energi, salah satunya solar subsidi.

Saat ini penyaluran solar subsidi telah melebihi kuota sekitar 10 persen per Februari untuk skala nasional. Sementara, untuk wilayah Sumsel sudah melebihi kuota hingga 12 persen.

Menyikapi hal ini, Pertamina Patra Niaga berupaya memastikan stok dan menjamin proses distribusi berjalan dengan maksimal.

“Stok solar subsidi secara nasional di level 20 hari sehingga proses penyaluran ke SPBU terus kami monitor secara real time,” kata Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel Tjahyo Nikho Indrawan

Lantaran itu, Pertamina Patra Niaga terus memonitor proses distribusi mulai dari terminal BBM hingga ke tingkat konsumen untuk memastikan BBM di SPBU selalu tersedia.

Sementara khusus solar subsidi, Pertamina akan fokus memberikan pelayanan pada jalur logistik serta pengguna yang berhak menikmati subsidi.

Selain itu, ia juga meminta masyarakat berhemat dalam penggunaannya mengingat harga minyak dunia terus bergerak naik.

“Jadi masyarakat tidak perlu khawatir dan tidak perlu panic buying. Pembelian bahan bakar kami imbau untuk tetap sesuai dengan kebutuhan,” kata dia.

Geliat ekonomi karena dipicu bombing harga komoditas telah berdampak pada peningkatan permintaan solar. Lantaran adanya disparitas harga yang cukup lebar dengan solar nonsubsidi membuat minyak solar subsidi menjadi buruan. Kondisi ini harus segera disikapi karena semakin lama alokasi dana subsidi dari pemerintah ini semakin tidak tepat sasaran.


Baca juga: Pertamina siapkan SPBU Mobile atasi antrean kendaraan

Baca juga: Nicke: Truk batu bara tidak diperbolehkan isi solar subsidi





 

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022