Payakumbuh (ANTARA) - Rendang, ya makanan asal suku Minang ini memang terkenal dengan kelezatannya bahkan dinobatkan sebagai makanan terenak nomor 1 dunia.

Umumnya rendang terbuat dari daging sapi yang direbus perlahan dengan santan dan campuran rempah seperti bawang putih, kunyit, jahe, serai, lengkuas dan cabai. Campuran bahan-bahan harus terus diaduk hingga beberapa jam yang membuat rasa dari rempah-rempah menyerap dengan sempurna ke daging yang empuk.

Seiring berjalannya waktu, variasi rendang semakin beragam mulai dari rendang daging kerbau, rendang telur, rendang ayam, rendang lokan, hingga rendang paru. Kini, ada satu lagi variasi terbaru bernama rendang jagung yang dikembangkan oleh pria bernama Oldi Putra asal Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.

Ide rendang jagung tercetus pada tahun lalu, saat Oldi melihat anak perempuan satu-satunya kecanduan membeli makanan asal luar negeri, yang saat itu memang sedang banyak diminati.

Kegelisahan memikirkan bahwa anak dalam negeri tidak lagi tertarik dengan makanan ikon Sumatera Barat itu, membuat Oldi berpikir untuk menciptakan makanan yang lebih kekinian namun tidak meninggalkan budaya.

“Ada keinginan untuk menjaga kuliner lokal tidak hilang, saya kemudian berfikir dan akhirnya berjodoh dengan jagung. Saya ingin membuat varian baru dari rendang tapi tidak kehilangan identitas lokal,” ujar Oldi.

Pada awalnya Oldi bertanya kepada tetua di sekitar rumahnya mengenai cara pembuatan rendang. Setelah mencoba-coba beragam resep, akhirnya Oldi menemukan racikan yang tepat untuk membuat rendang jagung.

Meski memiliki bahan yang sama dengan rendang daging, jumlah kelapa yang digunakan untuk rendang jagung lebih banyak. Jika 1 kilogram rendang daging hanya membutuhkan 3 buah kelapa, rendang jagung membutuhkan 10 buah kelapa. Agar rasanya tidak monoton, Oldi juga menambahkan daging siur dengan perbandingan jagung dan daging adalah 1 banding 1.

Pemilik usaha Rendang Jagung Makranin Oldi Putra saat memasak rendang jagung di Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. (ANTARA/Kuntum Riswan)
Setelah menemukan rasa yang pas, Oldi meminta tanggapan dari tetangga dan anak kecil dengan dalih anak kecil tidak bisa berbohong. Awalnya orang-orang beranggapan bahwa rendang jagung tersebut aneh namun setelah dicicipi ternyata mendapat respon yang positif.

Agar lebih menarik, Oldi mengemas rendang jagung yang diberi nama Rendang Jagung Makranin dengan cara pengemasan vakum. Setelah itu diberi plastik kemasan premium lengkap dengan nama usaha, komposisi hingga saran penyajian.

“Zaman sekarang kemasan itu menjadi pertimbangan, bahkan saya pernah terkecoh dengan kemasan yang menarik. Kalau dikemas dengan premium akan memberikan kesan mewah dan juga bersih jadi orang lebih tertarik,” katanya.

Jika pada awalnya Oldi yang dibantu satu orang pegawainya itu hanya merendang 3 kali dalam seminggu dengan hasil jadi berupa 15 kemasan rendang jagung dengan berat 200 gram dengan harga jual Rp50 ribu. Setelah setahun lebih, pada Maret 2022 ini, kapasitas produksi Oldi semakin meningkat. Ia merendang hampir setiap hari dengan hasil 30-45 kantong.

Pada bulan April ini pun Oldi mengaku kebanjiran pesanan. Untuk menyiasatinya, ia merendang setiap hari dengan kapasitas produksi 60 kantong rendang jagung. Dari 60 kantong tersebut, Oldi mampu meraup keuntungan hingga Rp800 ribu.

Baca juga: Wapres RI: Tidak ada makan enak di Sumbar, yang ada enak sekali

Menjaga citra rasa dengan alat tradisional

Seiring dengan semakin majunya peradaban, memasak rendang tidak lagi harus menggunakan tungku dan kayu bakar. Waktu memasak pun bisa lebih singkat jika menggunakan bahan bakar gas. Kendati demikian, Oldi memilih untuk tetap menggunakan alat dapur tradisional untuk menjaga cita rasa rendang yang otentik.

Ia berpendapat, cita rasa rendang yang dibuat menggunakan alat tradisional akan jauh lebih nikmat dan lebih tahan lama dibandingkan rendang yang dibuat menggunakan alat masak zaman kini. Selain itu, cita rasa tradisional menurutnya bisa membawa memori ke saat dahulu memakan masakan ibu.

“Makanan paling enak adalah masakan ibu, saya ingin menjual memori. ketika waktu anak-anak itu. Berdasarkan itulah saya ingin chemistry itu bisa dirasakan lewat makanan tradisional,” tuturnya.

Tak hanya menggunakan alat masak tradisional, ada satu lagi hal unik yang terlihat di dapur pembuatan berukuran sekitar 3x3 meter yang berada di belakang kediaman pria yang dulunya aktif sebagai penggiat literasi tersebut. Terdapat alat pemeras santan yang terbuat dari kayu bernama kacik.

Alat tradisional yang banyak digunakan di Payakumbuh itu berbentuk seperti penjepit besar. Santan yang dimasukkan ke dalam wadah itu kemudian dijepit di kacik, kemudian di ujung alat terdapat seperti pegangan yang kemudian harus diduduki untuk mengeluarkan sari-sari santan.

Alat pemeras santan tradisional Minangkabau bernama kacik (ANTARA/Kuntum Riswan)
Setelah santan dan bahan-bahan lainnya tersedia barulah Oldi bisa memulai proses merendang yang memakan waktu 4 jam. Dua jam pertama adalah proses mengaduk-aduk santan dengan rempah-rempah hingga muncul minyak. Pada jam ketiga barulah daging suir yang sebelumnya telah direbus langsung dimasukkan dan diaduk lagi hingga 1 jam. Terakhir jagung dimasukkan dan diaduk selama kurang lebih 10 menit.

“Ini sudah jadi dan bisa dimakan tapi rasanya belum pas. Harus didiamkan dulu semalam kemudian besok pagi kita panaskan lagi 15 menit. Setelah itu baru bisa dikemas,” ungkapnya.

Baca juga: Beralih dari hobi bermain alat musik tiup khas Minang ke ladang bisnis

Baca juga: Melestarikan budaya lewat kerajinan perak legendaris Koto Gadang

Melebarkan usaha lewat pasar digital

Sejak pertama kali memulai usaha Rendang Jagung Makranin, Oldi telah memilih pasar digital sebagai metode pemasaran. Mengandalkan jaringan pertemanan yang cukup banyak di Facebook dan WhatsApp, produk rendang jagung satu-satunya di Sumatera Barat itu kini menjelma opsi oleh-oleh Ranang Minang.

Pelanggan terbanyak adalah perantau Minang yang mengenalkan rendang jagung ke berbagai penjuru negeri. Bahkan ada yang membawa produknya ke luar negeri seperti Korea dan Jepang.

Selain memasok rendang jagung ke tempat pusat oleh-oleh di Pekanbaru, Oldi juga mempunyai pelanggan tetap salah satunya adalah perantau Minang yang menetap di Jakarta. Lewat perantaranya, rendang jagung Makranin telah mencapai berbagai provinsi di Indonesia.

Tak hanya mengandalkan media sosial Facebook, Oldi juga melebarkan usaha dengan membuka toko di e-commerce Shopee. Namun bukan ia yang terjun langsung, Oldi memberdayakan mahasiswa untuk menjual produknya dengan besaran fee 10 persen.

Selain karena faktor belum terlalu menguasai teknologi terkini, ia ingin berbagi rezeki dengan mahasiswa dengan cara membantunya melebarkan target pasar. Jika pelanggannya baru sebatas perantau Minang, pelanggan dari para mahasiswa akan lebih beragam dan bisa menjangkau calon pembeli yang belum bisa ia capai.

Meski usahanya baru berumur satu tahun, Rendang Jagung Makranin berhasil lolos menjadi 1 dari 45 UMKM yang terkurasi untuk mengikuti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) di Sumatera Barat.

Odi berharap melalui Gernas BBI tersebut dapat membuat usahanya lebih dikenal masyarakat dan menjadi satu dari sekian banyak oleh-oleh andalan dari Minangkabau.

Target jangka menengah Oldi adalah mendapat sertifikasi dari BPOM dan mendapat pembinaan yang juga membantunya mendapatkan akses ke pasar ekspor.

“Harapan utama saya bisa diberi pembinaan karena jika hanya diberi modal saja tanpa ada pasarnya percuma saja,” ucap dia.

Baca juga: Pemerintah jadikan kuliner nasi kapau Bukittinggi Zona Halal

Baca juga: Kemenperin pacu IKM tembus pasar ekspor lewat Gernas BBI

Baca juga: OJK targetkan transaksi e-commerce Gernas BBI Sumbar capai Rp15 miliar


Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022